Hargo.co.id – Kematian Kim Jong-hyun menjadi pukulan terkini industri hiburan Korea Selatan. Dengan lagu-lagu mereka yang romantis, dipasangkan dengan koreografi yang tak bernoda, SHINee menjadi salah satu boyband paling mentereng di Negeri Gingseng tersebut.

Namun, ketika sang lead vocalist memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, tabir kelam industri hiburan Korea pun kembali terungkap. Sementara di belahan dunia barat hanya ada beberapa boyband sukses dalam beberapa tahun terakhir, di Korea dan Jepang, di mana SHINee juga memiliki banyak pengikut dan menghasilkan serangkaian album berbahasa Jepang, selera untuk kelompok vokal emosional dengan tarian energik tidak pernah berkurang.
Namun, apa yang sudah dilakukan oleh pemuda-pemuda “cantik” dan terawat dengan baik itu, ternyata tak pernah terpuaskan.

Fandom K-pop bersifat obsesif dan penggemar secara terbuka memberi peringkat pada anggota favorit mereka. Persaingan sangat ketat. Band kadang-kadang diciptakan sebagai hasil kompetisi TV realitas. Seperti Wanna One, boyband bentukan acara Produce 101 musim kedua.
Ben Beaumont-Thomas, music editor The Guardian, menulis dalam kolomnya, bila dilihat dari kacamata Barat, SHINee mungkin tampak norak. Dia membandingkan dengan boyband besutan Simon Cowell, seperti One Direction, sangat jauh dari boyband Korea yang meriah. Lagu-lagu K-pop beragam dengan taste R & B dengan sentuhan tekno dan dance.

Tetapi, penampilan dengan koreografi dan fashion mereka dipikirkan dengan cermat. Dibentuk pada 2008 di bawah naungan raksasa industri musik Korea, SM Entertainment, yang juga membesarkan Girls Generation, Kangta, BoA, TVXQ, Super Junior, HOT, dan lainnya, SHINee juga bersinar.
Bahkan untuk penghitungan baru-baru ini, dengan salah seorang anggota, Taemin, yang merilis sebuah rekaman solo, SHINee adalah kasus langka sebuah band yang mencapai usia satu dekade dalam bisnis ini.
Pasalnya, di dunia K-pop dan J-pop, popularitas itu sangat kejam. Mereka bisa naik dengan cepat namun bisa lenyap begitu saja. Dengan kenyataan itu, aturan pun sangat ketat dari manajemen mereka.
Para artis sering kali menandatangani kontrak kejam di awal karir dan membuat mereka terikat dengan perusahaan manajemen tertentu.
Mereka berlatih di lingkungan yang kompetitif untuk bisa bertahan dengan yang lain. Banyak aturan yang diberlakukan. Tidak hanya melulu urusan vokal, penampilan, atau kemampuan di atas panggung. Tetapi juga sampai urusan pribadi. Bahkan, sampai aturan kencan dan pola makan.
Pada tahun 2012, girlband Nine Muses mengungkapkan kalau mereka ada aturan makanan cangkir kertas. Aturan itu menyebutkan mereka hanya boleh makan dengan porsi yang cukup di dalam cangkir kertas mungil.
Setelah TVXQ! membawa perusahaan manajemen mereka ke pengadilan karena memaksa melakukan kontrak selama 13 tahun, kontrak-kontrak artis sekarang standar berlangsung tujuh tahun untuk kemudian diperpanjang.
Namun, aturan itu pun kerap dilanggar. Salah seorang petinggi manajemen artis mengatakan kepada Korea Times bahwa hanya 40 persen manajemen yang menggunakan kontrak standar. Dan itu membuat para artis terbuka pada eksploitasi besar-besaran.
Bahkan ada kontrak yang “memenjarakan†artis. Dalam kontrak itu disebutkan jika seorang anggota band ingin pergi lebih awal, mereka harus membayar perusahaan tersebut berdasarkan keuntungan yang diproyeksikan untuk sisa kontrak.
Dua anggota K-Pop, SM band yang berada dinaungan SMO meninggalkan grup pada tahun 2014. Alasan mereka adalah upah yang minim dan jadwal kerja brutal. Anggota band EXO pun mengalami hal yang sama. Mereka tetap dipaksa tampil saat sakit dan terus menari meski baru pulih dari cedera.
Kelompok boyband dan girlband Korea yang tidak bercela menjadi tujuan. Dan, mengetahui bahwa hanya yang terbaik dari terbaik yang bisa ditolerir mau tidak mau membuat para anggota band berada di bawah tekanan.
Alasan kematian Jonghyun belum jelas. Namun berdasar curahan hatinya kepada sang sahabat, dia selalu mempertanyakan apakah dia sudah melakukan yang terbaik. (*)
(tia/JPC/hg)