Oleh:
Hamka Hendra Noer
Dosen FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Istilah birokrasi dan demokrasi selalu dipertentangkan satu sama lain, kendati secara konseptual dua variabel tersebut berada dalam bingkai kegiatan sistem politik. Birokrasi berkenaan dengan fungsi dan struktur output sistem politik. Demokrasi berkenaan dengan fungsi dan struktur input sistem politik. Korelasi antara birokrasi dan demokrasi adalah sinergis bukan antagonis satu sama lain. Lalu, bagaimana kemudian muncul persepsi bahwa birokrasi dan demokrasi adalah dua konsep yang dikotomis?
Nuansa dikotomis kedua konsep tersebut sesungguhnya ada pada level persepsi. Birokrasi identik dengan keteraturan (formalistik), kepatuhan pada garis wewenang, tidak ada kompromi. Sementara demokrasi identik dengan kebebasan, kompromi, negosiasi, dan akomodasi. Dengan demikian, pernyataan yang menyebutkan bahwa birokrasi dan demokrasi bertentangan sesungguhnya akibat kedua konsep dilihat secara per se, terpisah, bukan sebagai dua konsep yang bergerak dalam kosmos yang sama yaitu sistem politik negara.
Birokrasi dan demokrasi memiliki pendukungnya masing-masing. Pihak yang mendukung birokrasi menganggap bahwa entitas inilah yang secara nyata bekerja bagi publik atau warganegara. Dalam pandangannya, demokrasi sekadar pesta-pora yang secara ilutif memberi kesan bahwa publik dapat benar-benar menentukan keinginannya sendiri.
Padahal, para aktor demokrasi, yaitu pejabat politik yang dipilih publik (presiden, gubernur, bupati, walikota) dan para anggota parlemen pusat serta daerah, hanya memiliki masa jabatan pendek dan sebab itu sarat dengan vested-interest.
Padahal, menurut pendukungnya, birokrasilah yang sesungguhnya menjadi ujung tombak kebijakanpada lini terdepan melaksanakan berbagai perencanaan yang dibuat oleh para pejabat politik dari satu periode ke periode berikutnya.
Para pendukung demokrasi pun berkebalikan, melihat birokrasi sebagai hambatan pelaksanaan kehendak demokrasi.
Birokrasi dianggap lamban, tidak peka, kaku, dan selalu berlindung di balik payung hukum dalam menjalankan kehendak publik seperti tertuang dalam janji-janji kampanye yang diwujudkan dalam program kerja para pejabat politik.
Masa jabatan terbatas menjadikan para pejabat politik terkesan menganggap tata kerja birokrasi yang hirarkis-prosedural sebagai penghambat pelaksanaan program yang telah mereka susun.
Sebab itu, para pejabat politik selalu melakukan rotasi—secara besar-besaran—terhadap aparatur birokrasi, terlebih apabila dinilai birokratnya masih dianggap tunduk pada lawan politik mereka sebelumnya.
Tujuannya, agar hanya birokrat yang patuh dan bisa bekerjasama dengan mereka yang memegang kendali birokrasi.
Hal ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa birokrasi merupakan anasir potensial yang akan menghambat rencana program yang disusun pejabat politik dalam periode pesta demokrasi.
Memang, relasi antara birokrasi dan demokrasi sebenarnya telah berlangsung lama. Pembahasan masalah ini lazim diwarnai oleh keinginan memisahkan fungsi politik dan fungsi administrasi pemerintahan.
Fungsi politik terkait dengan kegiatan pembuatan kebijakan untuk mengatasi pelbagai masalah atau menjawab kebutuhan masyarakat. Sedangkan fungsi administrasi pemerintahan lebih terkait dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Tetapi pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa keinginan dan upaya memisahkan fungsi politik dan fungsi administrasi negara ternyata tidak sederhana.
Namun, dalam prakteknya, penyelenggaraan pemerintahan negara seringkali diintervensi oleh kepentingan rezim penguasa, sehingga sangat kental dengan nuansa politik. Itulah sebabnya kemudian dirasakan penting melakukan penguatan demokrasi (kompetisi sehat, transparansi, partisipasi), supaya birokrasi bisa dikontrol, dan para birokrat dapat bekerja secara efektif, efisien, profesional, dan berorientasi pada kualitas pelayanan publik.