Hargo.co.id, GORONTALO – Sudah dua tahun lamanya warga yang berdomisili di Kecamatan Pinogu, Kabupaten Bone Bolango berada dalam kondisi gelap gulita. Itu membuat masyarakat setempat meradang, karena kembali pada kondisi semula yakni melakukan aktivitas tanpa tanpa penerangan di malam hari.
Seperti yang diketahui, saat ini listrik menjadi kebutuhan primer. Jika zaman dulu mati lampu adalah hal yang biasa, sekarang ini menjadi masalah. Hal tersebutlah yang dikeluhkan oleh masyarakat Kecamatan Pinogu, karena sudah kurang lebih dua tahun lamanya menderita dalam kegelapan.
Sudah kurang lebih dua tahun lamanya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang ada di Kecamatan Pinogu, tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan. Hal tersebut diduga karena ada beberapa komponen PLTS tidak berfungsi lagi.
Ternyata benar, aki sebanyak 250 tidak berfungsi lagi, dari total 440 buah. Untuk sisanya, saat ini masih berfungsi, namun tidak bisa dipaksanakan penggunaannya, karena jika dipaksakan untuk penerang, kemungkinan hanya bisa digunakan dalam satu jam dan itu akan beresiko berat pada aki tersebut.
Pantauan wartawan Hargo.co.id, Senin, (27/06/22) saat ini masyarakat yang ada di Kecamatan Pinogu, kembali seperti zaman dahulu yakni hanya menggunakan lampu botol atau lampu minyak, sebagai alat penerangan. Namun hal itu pun tidaklah maksimal, mengingat harga minyak tanah yang cukup mahal dan sulit untuk didapatkan oleh masyarakat yang berada di Kecamatan Pinogu.
Wirono Thalib yang bekerja sebagai teknisi PLTS terpusat mewakili masyarakat Pinogu mengatakan, kebutuhan masyarakat Kecamatan Pinogu ada dua yakni, jalan dan listrik. Tapi seandainya masyarakat disuruh memilih, maka yang mereka pilih adalah listrik.
“Alasannya cukup sederhana, karena listrik adalah kebutuhan semua masyarakat. Sedangkan jalan, masyarakat masih bisa memperbaikinya meskipun secara manual,” ujarnya.
Lanjut, saat ini masyarakat sangat kesulitan, khususnya pada saat aktivitas malam hari. Mulai dari pelaksanaan ibadah salat, anak-anak belajar, kegiatan keagamaan di malam hari seperti tadarus Alquran, orang sakit, orang yang melahirkan, kedukaan, dan masih banyak lagi. Tentu hal tersebut sangat menyulitkan masyarakat.
Saat ini sebagian masyarakat menggunakan penerang listrik tenaga diesel yang dibatasi hanya sampai pukul 23.00 Wita dan ini hanya ada pada satu desa saja. Dana yang digunakan untuk mengisi bahan bakar diesel itu sendiri didapatkan dari patungan masyarakat yang ada di satu desa tersebut.
“Sebagian lagi masih menggunakan lampu botol atau lampu minyak tanah, sementara minyak tanah sulit didapatkan oleh masyarakat Pinogu, belum lagi dengan naiknya harga minyak tanah,” keluhnya.
Harapan masyarakat kepada pemerintah baik pemerintah daerah, provinsi maupun pemerintah pusat yakni, untuk bisa menyelesaikan persoalan yang cukup lama dirasakan oleh masyarakat Pinogu, yakni kebutuhan listrik. Kebutuhan anggaran untuk PLTS ada di Kecamatan Pinogu yakni kurang lebih Rp 2,5 Miliar. Itu nantinya akan dipergunakan untuk membeli berbagai kebutuhan. Diantaranya, pengadaan batu batre kurang lebih 240 unit, dan lain sebagainya.
“Kami sudah berulang-ulang kali menyampaikan, baik secara tertulis maupun secara lisan. Namun sampai saat ini belum ada perhatian dari pemerintah. Kami tidak tau entah dengan cara apa lagi kami menyuarakan hal ini kepada pemerintah. Kami berharap pemerintah daerah, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat agar tidak menutup mata dengan kondisi kami. Kami harapkan, agar hal ini bisa diperjuangkan,” harap Wirono.
Informasi lainnya yang didapatkan, persoalan listrik ini sempat dibahas di DPRD Provinsi Gorontalo, namun urung dilakukan. Alasannya, pada Maret 2020 akan ada aliran listrik PLN di Kecamatan Pinogu. Makanya proposal pengadaan aki PLTS dibatalkan. Nyatanya, sekarang tiang-tiang listrik milik PLN yang akan dibawa ke Kecamatan Pinogu, sudah ditarik kembali ke Kota Gorontalo, alasan pihak ketiga tidak mampu dengan akses jalan yang menuju ke Kecamatan Pinogu. Dan tiang listrik yang terpasang baru sampai di Kecamatan Suwawa Timur, tepatnya di Desa Tulabolo Timur. (***)
Penulis: Ainun Mokodompit/Mahasiswa Magang UNG