Oleh: Dahlan Iskan
PUN SAYA. Terkecoh. Begitu pelatih dan ofisial tim nasional Indonesia berselebrasi ke tengah lapangan saya pun meninggalkan TV. Lega. Sepak bola Indonesia kali ini menang. Dengan skor 2-1. Lawannya ”musuh bebuyutan” pula: Thailand.
Saya langsung menyaut kunci mobil. Pergi. Ada janji rapat pukul 22.00. Tinggal punya waktu 15 menit di perjalanan. Tapi hati senang: Indonesia juara SEA Games di Kamboja 2023.
“Radio ini gimana sih. Kok masih menyiarkan jalannya pertandingan,” ujar saya dalam hati. “Radio ini telat sekali,” kata saya lagi.
“Skor masih tetap 2-2,” ujar sang penyiar kemudian.
Saya benar-benar bingung dengan radio di mobil ini. “Apalah ini siaran ulang pertandingan tahun nan lalu?” kata saya lagi.
“Babak kedua berakhir, skor masih 2-2”.
“Ini apa lagi…” kata saya.
Lalu terjadilah gol. Indonesia menang 3-2. Karena Indonesia di posisi menang maka saya mulai mengakui: mungkin ini memang perpanjangan.
Tapi kenapa ada perpanjangan? Apa yang terjadi? Penyiar radio tidak menjelaskan. Otak saya terbagi dua: ke jalan raya dan ke sepak bola. Saya begitu sulit memahami apa yang terjadi.
Kalau pun perpanjangan, kapan Thailand memasukkan gol. Kan tidak mungkin dalam waktu sekian detik terjadi gol.
Bukankah –kalau pun tadi itu pertandingan sebenarnya belum selesai– gak masuk akal bisa terjadi gol balasan dari Thailand. Kan waktu tinggal 30 detik. Masak sih kemenangan Indonesia hangus dalam 30 detik?
Pukul 22.00 persis saya tiba di tempat rapat. Peserta rapat masih di depan TV: nonton bola. Saya pun tertegun: benar-benar ada perpanjangan. Indonesia dalam posisi unggul 3-2.
Maka saya sibuk mengusut perkara: apa yang terjadi sehingga ada perpanjangan. Tiga orang berebut menjelaskan. “Ofisial tim Indonesia salah sangka. Bunyi peluit dari wasit Oman itu bukan tanda pertandingan sudah selesai,” ujarnya.
Memang, saat peluit itu berbunyi waktu sudah menunjukkan menit ke-8 dari perpanjangan 7 menit. Sudah lebih 1 menit dari waktu perpanjangan. Maka logis saja kalau pelatih kita, Indra Sjafri, mengira itu bunyi peluit pertandingan berakhir. Apalagi bersamaan dengan bunyi peluit itu wasit menudingkan tangannya ke arah tengah lapangan. Begitulah cara wasit mengakhiri pertandingan.
Ternyata bunyi peluit itu sebagai tanda ada pelanggaran. Posisi terjadinya pelanggaran di tengah lapangan. Maka wasit menudingkan tangan ke tengah lapangan.
Sebenarnya ketika peluit dibunyikan tidak sedang ada pelanggaran. Bola sedang keluar lapangan tersenggol pemain Indonesia.
Pelanggarannya terjadi sebelum itu. Wasit tidak membunyikan peluit karena prinsip advantage: bola lagi dikuasai pemain Thailand. Wasit harus membiarkan dulu bola itu milik Thailand.
Sampai terjadilah bola keluar lapangan. Wasit membunyikan peluit dan menunjuk arah tengah lapangan –untuk pelanggaran yang sebelumnya.
Dari rekaman terlihat pelatih kita yang pertama kali lari gembira ke tengah lapangan. Sambil tangannya mengepal ke udara. Ofisial lain mengikuti lari ke tengah lapangan. Pemain pun ikut selebrasi. Ada yang bersujud. Ada pula yang sampai melepaskan baju kaus.
Rupanya dalam suasana lagi merayakan kemenangan itu pemain Indonesia tidak menyangka Thailand langsung meneruskan pertandingan. Lalu, dalam sekejap, bikin gol:2-2.
Berhasil menyamakan kedudukan di detik terakhir, tim Thailand merayakannya dengan luar biasa. Mungkin sekalian untuk mengejek Indonesia yang keburu merayakan kemenangan. Tim Thailand sampai lari ke depan lokasi tim Indonesia.
Perpanjangan pun harus dilakukan: 2 x 15 menit.
Sudah banyak yang khawatir: ini pertanda-pertanda Indonesia akan kalah. Menang 2-0 yang bisa disamakan menjadi 2-2 menimbulkan suasana depresi berat. Tapi tidak bagi para pemain muda Indonesia. Mereka justru seperti lebih bersemangat dibanding 2×45 menit waktu normal.
Irfan Jauhari pun mencetak gol ke-3 dengan cantiknya. Ganti tim Indonesia merayakan gol itu secara luar biasa pula. Sampai ke depan lokasi tim Thailand. Maka terjadilah apa yang harusnya tidak terjadi: saling serang.
Manajer tim Indonesia Kombes Pol Sumardji ingin melerai keributan itu. Ia lari ke arah keributan. Mungkin pihak Thailand mengira ia akan ikut keributan. Sumardji terjengkang. Anda sudah tahu adegan ini. Saya menontonnya di YouTube berkali-kali.
Sumardji pernah menjadi Dirlantas Polda Bengkulu. Ia arek Suroboyo yang Anda sudah tahu: kalau bicara ceplas ceplos. Banyak humornya. Tapi adegan di Olympic Stadium Phnom Phenh itu bukan humor. “Sudah tidak apa-apa. Hanya bibir yang masih agak bengkak,” ujar Sumardji kepada temannya.
Kesalahan Indra Sjafri dan bengkaknya bibir Sumardji adalah bumbu dari kisah sukses timnas U-23 Indonesia. Seharusnya juara di cabang sepak bola dinilai dengan 11 medali emas. Kalau itu diberlakukan, Indonesia sudah di peringkat kedua klasemen medali SEA Games 2023.
Pun dengan Indonesia di nomor urut 3 perolehan medali rasanya sudah ibarat nomor satu. Apalagi target perolehan medali Indonesia sudah di atas target Presiden Jokowi– meski Vietnam dan Thailand juga jauh di atas target pemerintah mereka.
Akhirnya rapat kami pun baru bisa dimulai pukul 23.00. Begitu asyik membicarakan kemenangan. Apalagi kemenangan yang disertai drama sambung-menyambung.(Dahlan Iskan)