Tiongkok sudah membayar sangat mahal sebelum mencapai tahap ini. Yakni, ketika memilih membangun kereta maglev. Teknologi Jerman. Kecepatan 415 km per jam. Rodanya tidak menempel di rel. Itulah kereta tercepat di dunia. Di Shanghai. Untuk melayani penumpang yang menuju bandara.
Proyek itu berhenti di situ. Di Shanghai. Tidak jadi dikembangkan. Tiongkok lantas menoleh ke Kanada. Ke Bombardier. Yang juga pemilik teknologi pesawat terbang Bombardier. Maka, kereta cepat Tiongkok itu pada dasarnya adalah teknologi Kanada.
Itulah yang akhirnya dikembangkan. Seperti halilintar. Menyambar segala jurusan. Kini sudah ada kereta cepat Beijing–Guangzhou. Delapan jam. Jaraknya hampir sama dengan dari Jakarta ke Bangkok. Ada jalur Shanghai–Kunming. Ada lagi Beijing–Shanghai. Atau Shanghai–Shenzhen.
Ke mana pun di Tiongkok, kini ada kereta cepat: 300 km per jam. Bahkan, awal-awalnya dulu Beijing–Tianjin atau Shanghai–Hangzhou dijalankan 319 km per jam. Saya suka memotret display digital di gerbongnya. Saat perjalanan menunjukkan angka 319.
Bagi yang tidak setuju proyek Jakarta–Bandung, sebaiknya cari alasan lain. Misalnya, apakah itu prioritas kita saat ini. Misalnya lagi, apakah angka Rp 77 triliun itu tidak lebih baik untuk yang lain. Mungkin bisa untuk proyek lain yang lebih prioritas. Misalnya membuat KA Jakarta–Surabaya yang berkecepatan 200 km per jam. Jakarta–Surabaya 4 jam. Daripada hanya 70 km per jam saat ini.
Atau ditambah sedikit bisa untuk membangun jembatan Selat Sunda. Atau untuk membangun jalan tol seluruh Sumatera. Atau membangun tol atas laut Jakarta–Surabaya. Atau. Atau. Atau. Atau tetap untuk Jakarta–Bandung. (*)