Oleh: Dahlan Iskan
INI sepertinya belum diatur dalam hukum perang: boleh atau tidak.
Tapi kenyataannya kian sering terjadi: membunuh musuh dari jarak jauh. Tanpa ada deklarasi perang sebelumnya.
Seorang jenderal intelijen Iran terbunuh dua hari lalu. Yang membunuh berada di jarak ribuan kilometer. Di negara lain.
Sang jenderal lagi dalam kunjungan ke Damaskus, Syria. Jam 10.30 itu ia lagi berada di sebuah gedung bertingkat. Gedung itu memang sering dipakai para pejabat militer Iran. Hubungan Iran dan Syria sangat baik.
Di siang bolong itulah sebuah drone melayang di udara Syria. drone tanpa awak itu meluncurkan senjata. Tepat mengenai sasaran.
Gedung itu hancur. Terbakar. Brigjen Sadegh Omidzadeh tewas seketika. Demikian juga deputinya: Hajj Gholam. Pun tiga staf lainnya.
Secara intelijen gedung itu sudah memenuhi syarat: berada di kompleks kedutaan besar banyak negara. Di kawasan seperti itu biasanya aman dari serangan. Tapi serangan model baru ini seperti sniper jarak jauh. Tepat sasaran. Tanpa mengenai dan mengganggu gedung di sebelahnya.
Ketepatan sasaran diatur lewat komputer. Berarti tugas sniper tradisional sudah tergantikan. Dengan teknologi ini sang sniper tidak harus mencari posisi menembak yang tepat. Ia bisa melakukannya dari mana saja.
Kali ini pelakunya Israel. Iran juga pernah kehilangan jenderal dengan cara yang mirip. Hanya pelakunya bukan Israel, langsung bos besarnya: Amerika Serikat.
Jendreal itu, Qasim Solaimani, juga lagi berkunjung ke negara lain: Iraq. Begitu kendaraan yang membawa Solaimani konvoi di jalan raya, di luar kota Baghdad, senjata mengenai mobil itu. Meledak. Sang jenderal tewas seketika. Tembakan dilancarkan oleh drone. Tanpa awak.
Sebulan lalu petinggi Hamas yang lagi berada di Beirut, Libanon, juga tewas oleh serangan drone tepat sasaran. Ia seorang deputi pimpinan Hamas: Saleh al-Arouri.
Maka saya berpikir mengapa Vladimir Putin tidak dibunuh saja dengan cara yang sama. Atau Kim Jong-un. Bahkan mengapa tidak sekalian Ayatollah Khamenei.
Mungkin saja Israel dan Amerika sudah mengagendakan itu. Tapi mereka belum menemukan intelijen yang bisa memasok keberadaan para tokoh yang dibenci Israel-Amerika itu. Belum menemukan pengkhianat yang tepat.
Saya bisa membayangkan betapa sulit melindungi tokoh di zaman seperti ini. Debat capres masih membicarakan beli senjata bekas atau baru.
Padahal realitas keamanan dan pertahanan negara sudah seperti itu. Tidak perlu lagi mengerahkan pasukan ke Jayawijaya. Semua bisa diwakilkan ke Mr Drone.
Tapi drone juga tidak cerdas kalau tidak dibantu pihak lain: para pengkhianat.
Saya bayangkan betapa banyak orang berwajah ganda di Lebanon, Syria, Iraq, Palestina, dan Gaza sekarang ini. Tanpa para pengkhianat drone pun hanya bisa tolah-toleh. Sebenarnya para pengkhianat itulah kuncinya.(Dahlan Iskan)