Sial. Sial sekali. Begitu transaksi ditandatangani, harga minyak mentah terjun bebas. Dari USD 80 menjadi USD 40-an.
Sial. Begitu sialnya. Perut siapa yang tidak mulas?
Begitu pandainya pemilik Plains: menjual perusahaan ketika nilainya masih tinggi.
Begitu sialnya atau cerobohnya Freeport: membeli perusahaan minyak raksasa yang sedang berada di bibir jurang.
Rupanya Freeport salah perhitungan. Atau terlalu banyak berharap.
Memang harga komoditas tambang seperti tembaga dan nikel yang menjadi andalannya terus menurun. Sudah enam tahun tidak naik-naik. Semua perusahaan tambang, termasuk PT Antam, termehek-mehek.
Waktu itu harga minyak masih bagus. Rupanya Freeport mau mencari tanjakan lain. Meski tanjakan tersebut berkelok. Masuk bisnis minyak. Tidak tahunya, malah kian terperosok.
Maka, di New York, tempat saham Freeport diperdagangkan di bursa, beritanya negatif melulu. Tahun-tahun belakangan ini, judul-judul berita yang terkait dengan Freeport hanya serem dan serem sekali: Freeport Menuju Kematian, Masih Bisa Diselamatkankah Freeport?, atau Keuangan Freeport yang Mengerikan.
Serem dan suram. Disebutkan, seluruh aspek usaha Freeport memburuk. â€Multiple weakness in multiple areaâ€: Omzetnya turun, labanya memburuk, rasio-rasio keuangannya tidak lagi masuk akal. Bahkan, cash flow-nya pun menghadapi kegawatan.
Sampai kapan kondisi seperti itu akan berlangsung?
Bergantung. Pertama, bergantung jawaban pemerintah soal tawaran Rp 20 triliun itu. Kalau pemerintah mengabulkannya, cash flow Freeport sedikit tertolong. Sedikit.
Kedua, bergantung apakah pemerintah akan memperpanjang kontrak Freeport. Kalau pemerintah mau memperpanjangnya, kondisi Freeport bisa sedikit membaik. Setidaknya outlook jangka panjangnya. Apalagi kalau perpanjangannya diizinkan sekarang. Wow. Harga saham Freeport bisa sedikit naik. Kondisi Freeport bisa seperti pasien yang dapat infus: belum tentu sembuh, tapi setidaknya belum segera mati.