Ketiga, bergantung harga minyak mentah. Kalau harga minyak mentah segera membaik, harga sahamnya akan ikut naik. Ada napas baru.
Tapi, ada tapi-tapinya. Di AS, baru ditemukan sumber gas baru yang disebut shale gas. Harga gas menjadi sangat murah: hanya USD 3/mmbtu. Kayaknya sulit membayangkan harga minyak mentah bisa segera naik drastis. Apalagi, perusahaan minyak yang dibeli itu adalah perusahaan minyak dari Texas juga.
Freeport (nama ini diambil dari nama kota kecil di Texas yang terletak di pantai Teluk Meksiko) benar-benar berada dalam posisi berat. Di Amerika. Dan di Indonesia.
Kota Freeport sendiri sekarang berpenduduk 11.000 jiwa dan masih jaya. Namun, perusahaan yang awalnya tambang sulfur tersebut, yang didirikan di kota itu pada 1912, kini lagi berjuang melawan kesulitan. Bahkan, chairman-nya yang legendaris itu, James Moffett, sampai menyerah. Meletakkan jabatan.
Cadangan emas yang sangat besar di Papua sendiri ditemukan oleh seorang pengelana Belanda pada 1950-an. Freeport mendengar temuan itu. Dan berusaha menguasainya. Tahun 1960, Freeport sepakat dengan si Belanda.
Pada 1965, Bung Karno yang anti-Amerika jatuh. Soeharto naik. Atau dinaikkan. Tahun 1967, resmilah Freeport mulai melakukan drilling. Tahun 1988 mulai menghasilkan emas dan tembaga.
Luar biasa hebatnya. Mudah mengerjakannya.
Tambang itu berada di permukaan tanah Papua. Tinggal mengeruknya. Bukan di perut bumi yang harus menggalinya.
Tahun 2021, kontrak dengan Freeport itu akan berakhir. Kalau kontrak tidak diperpanjang, Freeport akan 100 persen milik Indonesia. Tidak perlu keluar uang Rp 20 triliun hanya untuk memiliki 10 persen sahamnya.
Akan menjadi serbaenak? Jangan dulu dibayangkan serbaenaknya.
Pertama, mungkin Amerika marah. Entah apa bentuk kemarahannya. Dan entah apa kita mampu menanggungnya.
Kedua, mungkin saja sejak sekarang Freeport tidak mau keluar uang untuk pemeliharaan tambang. Toh, sudah akan lepas dari tangannya. Kalau itu terjadi, kelak, tepat di saat tambang itu menjadi milik Indonesia, kondisinya sudah tidak bagus lagi. Diperlukan uang puluhan triliun rupiah untuk kembali menghidupkannya.
Apalagi, tambang yang ada di permukaan tanah sudah habis. Sudah harus menggali tambang di perut bumi. Lebih mahal.
Dengan harga jual nikel dan tembaga seperti sekarang, belum tentu bisa menghasilkan uang seperti yang kita bayangkan.
Bisa-bisa kita harus mengundang investor asing lagi untuk melanjutkannya.
Mungkin Freeport lagi. Atau Freeport yang lain. Kalau tidak disiapkan mulai sekarang. (*)