Berkunjung ke Gorontalo, Ini yang Bakal Dilakukan Komisi Yudisial

×

Berkunjung ke Gorontalo, Ini yang Bakal Dilakukan Komisi Yudisial

Share this article
Ketua Komisi Yudisial RI Aidul Fitriciada Azhari (songkok hitam) bersama Walikota Gorontalo Marten Taha (Baju biru) dan Bupati Kulon Progo (batik) saat menghadiri gala diner di Rumah Dinas Walikota Gorontalo semalam. ( f : Istimewa)

GORONTALO,hargo.co.id – Proses peradilan, menjadi salah satu hal yang sangat menentukan terlaksananya penegakan hukum di Indonesia.

Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang mengawasi proses proses dan putusan pengadilan termasuk pengawasan terhadap perilaku hakim memiliki tanggung jawab besar untuk menjamin terciptanya iklim peradilan yang baik di negara ini.

Rabu (5/7), Ketua Komisi Yudisial Indonesia Aidul Fitriciada Azhari melakukan ramah tamah dan silaturahim dengan Walikota Gorontalo Marten Taha dan beberapa tamu undangan lainnya.

Dirgahayu Radio Republik Indonesia

Secara bertepatan, saat itu, pemerintah Kota Gorontalo tengah melaksanakan gala Dinner yang dihadiri Bupati Kulonprogo sehubungan dengan pelaksanaan Rakernas Asosiasi Pemimpin Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) Komwil VI di rumah dinas Walikota Gorontalo.

Dalam agendanya, kedatangan Ketua Komisi Yudisial Indonesia Aidul Fitriciada Azhari ke Gorontalo bukan dalam kunjungan dalam menghadiri Rakernas Apeksi Komwil VI tersebut. Aidul Fitriciada Azhari yang tiba di Gorontalo sore kemarin, turut diundang oleh Walikota Marten Taha dalam gala dinner yang dilaksanakan semalam.

Secara terpisah Aidul Fitriciada Azhari menuturkan maksud kedatangannya ke Gorontalo yakni untuk membangun jejaring Komisi Yudisial di Provinsi Gorontalo.

“Saya baru pertama kali ke Kota Gorontalo dan memang diniatkan dari awal dalam kapasitas sebagai Ketua Komisi Yudisial, datang untuk membangun jejaring di daerah ini, sebagai sebuah kebutuhan dalam upaya  pengawasan dalam hal yudisial di negara kita,” ujar Aidul.

Seperti diketahui, Komisi Yudisial  RI memiliki tugas kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang undang nomor 18 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang undang  nomor 22 tahun 2004 tentang kewenangan komisi Yudisial yang diantaranya mencakup pengusulan dan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), dan menjaga serta menegakkan pelaksanaan kode etik KEPPH).

Menurut Aidul, saat ini di Indonesia terdapat 7600 hakim yang harus di awasi dan melaksanakan tugas pada sedkitnya 800 pengadilan yang tersebar di seluruh Indoensia.

“Dalam tugas serta kewenangan yang cukup luas itu, serta wilayah pengawasan yang seluas negara kita, Komisi Yudisial hanya memiliki 250 pegawai yang berkantor di Jakarta, sehingga dengan kasat mata, kita jelas melihat sangat terbatasnya  pegawai Komisi Yudisial dengan tugas yang berat ini,” ujar Aidul.

Disampaikannya, Komisi Yudisial sendiri sudah mengembangkan kantor penghubung, dimana untuk wilayah Sulawesi hanya terdapat dua kantor penghubung, masing masing di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, dan di Manado Provinsi Sulawesi Utara.

“Untuk kantor penghubung Manado, membawahi tiga daerah, yakni Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah, nah, berapa orang staf kantor penghubung ini,? Hanya 4 orang, bayangkan sangat minim dengan wilayah tanggung jawab yang seluas tiga Provinsi, nah, ini yang kemudian kami siasati dengan melakukan gerakan untuk mengembangkan jejaring, dimana maksud kedatangan saya di Gorontalo saat ini adalah upaya sosialisasi dalam rangka pengembangan jejaring Komisi Yudisial tersebut,” tutur Aidul.

Dalam Agendanya, hari ini, Ketua Komisi Yudisial RI Aidul Fitriciada Azhari akan menjadi pembicara di Univesrsitas Negeri Gorontalo (UNG) dalam rangka upaya pengembangan jejaring Komisi Yudisial di Gorontalo tersebut.

“Saya akan bicara di UNG, bagaimana membangun jejaring Komisi Yudisial, dimana jejaring ini akan kita bangun dengan pihak Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Hukum, kelompok dan organisasi masyarakat, lembaga keagaman dan tokoh masyarakat yang akan kita gandeng dan libatkan untuk membangun peradilan yang bersih dan berintegritas di negara yang kita cintai ini,” ujarnya.

Menurut Aidul, terkadang ada kasus kasus perilaku hakim yang sangat mencoreng integritas peradilan di Indonesia. Seperti adanya suap hakim yang sering terjadi. Aidul bahkan menggambarkan, profesi hakim merupakan salah satu profesi dengan gaji tertinggi di Indonesia.

Bisa dibayangkan lanjut Aidul, untuk hakim di pengadilan tinggi, gaji awalnya adalah Rp 12 juta, dan akan terus meningkat sehingga apabila sudah mencapai profesi dan posisi sebagai hakim tinggi bisa mencapai Rp 42 juta.

Sementara hakim agung juga memiliki gaji yang cukup tinggi yakni Rp 70 juta per bulan, untuk gaji Wakil Ketua Mahkamah Agung, gajinya mencapai Rp 90 juta, sementara Ketua Mahkamah Agung mencapai Rp 121 juta perbulan.

“Sehingga, kalau melihat dari tingginya gaji hakim tersebut, tidak sepatutnya ada korupsi, tidak seharusnya ada penyuapan yang meruntuhkan wibawa peradilan, nah inilah yang harus kita awasi, dan  salah satu upaya kami adalah membangun jejaring di daerah,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Aidul Fitriciada Azhari  juga juga menuturkan sebuah poin penting dalam kaitan peradilan. Menurut Aidil, peradilan tidak diharapkan memutus hukum hanya untuk kepentingan hukum itu sendiri, harus ada pemahaman bahwa peradilan bertujuan untuk pertumbuhan ekonomi.

“Artinya, jangan sampai peradilan menghambat investasi di daerah, dan ini yang seharusnya terbangun dengan komunikasi yang terjalin,” tandasnya. (gip/hargo)