Hargo.co.id JAKARTA – Vonis dua tahun penjara dan perintah penahanan dari majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk terdakwa penoda agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dinilai sudah adil.
Putusan ini dianggap menenteramkan masyarakat. Siapa pun yang tidak puas, bisa melakukan upaya hukum dengan mengajukan banding di Pengadilan Tinggi.
“Bukan dengan jalan melakukan aksi demonstrasi hingga larut malam, yang berpotensi menimbulkan persoalan baru bagi bangsa,†ujar Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ikhsan Abdullah dalam diskusi bertajuk Dramaturgi Ahok di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/5). Dia tidak sepakat jika putusan hakim itu disebut kontrovesi.
Namun menurut Ikhsan, wajar saja jika masih ada pihak-pihak yang merasa tidak adil dengan putusan ini. Baik itu pelapor, maupun pihak Ahok.
Pelapor misalnya, merasa tidak adil karena mereka ingin Ahok dihukum lima tahun penjara.
Sebaliknya, kubu Ahok juga menyatakan gubernur DKI Jakarta nonaktif itu tidak menistakan agama. Bahkan, mereka beranggapan Ahok tidak harus ditahan. Nah, dua kutub ini tentu tidak pernah bisa ketemu.
“Mari kita sepakat dari awal bahwa persoalan ini dilerai melalui due process of law yang sudah berjalan baik dari penyidikan, penuntutan sampai vonis. Hakim berpendirian bagaimana menjaga hukum dan kesatuan bangsa negara,†kata Ikhsan.
Dikatakan, jutaan umat Islam yang turun ke jalan saat Aksi Bela Islam, tidak ada yang memprotes putusan hakim yang memvonis Ahok dua tahun penjara itu. Justru sebaliknya, yang lain melakukan protes masif atas putusan itu.
Bahkan, melakukan sampai larut malam. Nah, kata dia, aksi-aksi seperti ini tidak boleh lagi ditolerir.
“Apabila ini ditolerir maka akan mengganggu keamanan, kenyamanan, kondusifitas bernegara. Bukan tidak mungkin akan mencabik-cabik rasa keadilan,†katanya.
Ikhsan maupun MUI berharap untuk bersama-sama kembali ke rumah besar Indonesia. Ikhsan menyatakan, Ketua Umum MUI yang juga Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin sudah menyerukan untuk melakukan dialog nasional membicarakan persoalan bangsa ini.
“Ada peran yang perlu dilakukan bapak kita, penyelenggara negara, jangan membiarkan persoalan ini berlarut. Kalau sepakat merawat kebinekaan ini, tentu akan kelihatan siapa yang terus mengompori dan membuat letupan tidak produktif,” jelasnya.
Peneliti sosial politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun mengatakan, Indonesia merupakan negara hukum. Bukan negara kekuasaan. Karenanya seluruh proses kehidupan sosial ekonomi menempatkan hukum sebagai hal utama dalam mengelola negara.
“Kita perlu percaya bahwa pengadilan mengambil putusan berdasarkan argumentasi hukum,†katanya di kesempatan itu.
Dia mengimbau, jangan ada lagi yang berasumsi bahwa putusan pengadilan itu sudah tidak benar sebelum membuktikannya melalui proses banding di Pengadilan Tinggi. “Jadi, Pengadilan Tinggi nanti yang akan membuktikan,” ujarnya.
Pengacara Ahok, I Wayan Sudirta mengatakan, Pengadilan Negeri hanya memutus. Setelah itu, kewenangan ada di PT.
“PN hanya memutus. Tapi, saya berkali-kali harus mengatakan kepada semua pihak pengadilan dihormati. Majelis jangan terlalu diacak-acak,†katanya di kesempatan itu.
Karenanya, Wayan meminta supaya hakim membuat keputusan yang adil dan bijaksana. “Saya berharap Pengadilan Tinggi mengeluarkan kebijakan yang meneduhkan masyarakat,†katanya.
Mantan Komisioner Kejaksaan Kaspudin Noor mengatakan, penahanan Ahok itu merupakan putusan, bukan penetapan hakim. Menurut dia, jaksa sebagai eksekutor harus melaksanakan putusan hakim.
“Apa pun keputusan hakim harus dijalankan, walaupun dianggap keliru. Tugas jaksa mengeksekusi,†ujarnya di kesempatan itu.
Peneliti Institute For Criminal Justice Reform Anggara Suwahju berharap supaya praktik penahanan yang tidak berdasarkan hukum, yang tidak menjelaskan keadaan seperti di undang-undang, harus dihentikan serta diperbaiki. “Tidak hanya di kasus Ahok saja, tapi di kasus lain juga,†kata dia di kesempatan itu.
Menurut dia, sekarang sedang pembahasan RUU KUHP oleh DPR dan pemerintah. Karenanya, apa yang terjadi dalam kasus ini bisa menjadi masukan yang sangat baik bagi DPR dan pemerintah bagaimana merumuskan pasal penodaan agama.
“Ini input baik pembangunan proses hukum pidana ke depan,†tegasnya. (hg/boy/jpnn)