ramadan2024

Sepenggal Cerita HMI Manado dan HMI Gorontalo

×

Sepenggal Cerita HMI Manado dan HMI Gorontalo

Sebarkan artikel ini
Letkol. Djalaluddin Tantu, berpose di depan rumahnya di Kampung Bugis, Gorontalo. Rumah di mana HMI jadikan sekretariat pada 1987. (Foto Istimewa)
Letkol. Djalaluddin Tantu, berpose di depan rumahnya di Kampung Bugis, Gorontalo. Rumah di mana HMI jadikan sekretariat pada 1987. (Foto Istimewa)

Oleh: Syaiful Bahri Ruray

badan keuangan

PADA 1986, Ketua Umum PB HMI hasil Kongres Padang, Ir. Saleh Khaled, MBA berkunjung ke Manado untuk melantik pengurus HMI Cabang Manado. Saat itu konstelasi politik dalam negeri masih hangat-hangatnya dengan isyu Asas Tunggal Pancasila, dimana pemerintahan Soeharto menghendaki seluruh komponen bangsa harus menganut asas tunggal yaitu Pancasila.

Dan dilahirkannya paket 5 undang-undang politik pada 1985 tentang Asas Tunggal tersebut yang turut mengatur setiap organisasi kemasyarakatan wajib mencantumkan Asas Tunggal dalam konstitusi organisasinya atau menghadapi risiko dibubarkan, bahkan kegiatan bisa diuber-uber kemana mana oleh aparat intel.

Example 300250

HMI Cabang Manado adalah salah satu pencetus awal bagi HMI untuk mencantumkan Asas Tunggal setelah terjadi tarik menarik panjang akan isyu ini sejak Kongres Medan. Padahal sejak Kongres HMI di Palembang 1971, Ketua HMI Cabang Jogja, Mahadi Sinambela (mantan Menpora), telah mewacanakan azas Pancasila bagi HMI.

Setelah melakukan pelantikan HMI Manado, yang dirangkaikan dengan upgrading pengurus di mana Ketua Umum PB HMI memberikan briefing tentang makna Islam sebagai sumber nilai dan Pancasila sebagai asas berbangsa dan bernegara. Dimana memposisikan agama dan ideologi negara bukanlah dua dimensi yang konfrontatif, namun Pancasila akan mendapat tempat karena eksistensi Islam.

Kita tahu persis bahwa Indonesia, sejak awal berdirinya, mengalami pengalaman politik yang nyaris membawa bangsa ini menuju dis-integrasi karena soal ideologi. Bahkan tragedi berdarah tercatat dalam lembaran sejarah nasional kita seperti kasus Madiun Affairs 1948, hingga DI/TII, PRRI-Permesta 1957-1958 dan terakhir G.30.S/PKI, 1965.

Hari Kartini

Untung saja sebagai organisasi mahasiswa, HMI telah terlibat dalam menegakkan eksistensi Republik Indonesia sejak awal berdirinya organisasi ini pada 1947. Ketua Umum Ir. Saleh Khalid dalam perjalanan kembali ke Jakarta, saat menunggu di boarding room bandara Sam Ratulangi Manado, by accident bertemu dengan Bupati Gorontalo Kolonel AURI Marthin Liputo, SH dan Tokoh Muslim senior Papi Polapa, seorang tokoh Masyumi pada zamannya yang sangat disegani, juga tokoh Muhammadiyah Gorontalo saat itu.

Kedua tokoh Gorontalo itu kebetulan baru saja tiba dari Gorontalo dan hendak melanjutkan perjalanan ke Jakarta juga dengan pesawat yang sama. Dalam perbincangan di ruang tunggu tersebut, kedua tokoh Gorontalo itu bertanya dengan akrabnya kepada Ir. Saleh Khalid, kapan ke Gorontalo untuk mendirikan HMI Gorontalo.

Kita tahu bahwa HMI Gorontalo pernah lama berdiri namun mengalami kevakuman panjang karena pengurusnya pada melanjutkan studi ke IKIP Manado. Saya dan teman-teman lainya, yang ikut mengantar Ketum PB HMI ke Bandara ikut mendengar percakapan tersebut, kata Pak Marthin Liputo, HMI harus hadir di Gorontalo untuk membantunya membangun Gorontalo.

Demikian kalimat sang kolonel. Ir. Saleh Khalid pun berjanji akan menindak lanjutinya, bahkan berpesan kepada saya untuk nanti ke Gorontalo untuk menjajaki pendirian kembali HMI Gorontalo. Akhirnya pada 1987, bertepatan dengan kunjungan Ketua Kohati PB HMI ke Manado, Dra. Diana Nurmin, beliau mengisi agenda Kohati di Manado dan kegiatan di Pesantren Kinilow, Tomohon, setelah itu dijadwalkan untuk mengunjungi Gorontalo. Pengurus HMI Manado pun melakukan rapat dan membentuk advance team yang terdiri dari Jaelani Husain, Rustam Conoras dan Fadly Tantu.

Tim ini bertugas untuk melakukan penjajakan di Gorontalo. Mereka pun melalui perjalanan darat, naik bus kecil, dari stasiun swasta di Pantai Bahu menuju Gorontalo melalui Bolaang Mongondow. Tim ini diantar ke stasiun bus partikelir tersebut oleh beberapa Pengurus Kohati, Dince Koday, Sarinandhe Djibran dan Sri Angreani Bouwta.

Saat itu, perjalanan darat tidaklah seindah yang dibayangkan karena butuh sehari semalam dalam perjalanan melewati jalan dan bahkan menuruni sungai karena infra struktur jalan tidak sebaik zaman now. Tim ini pun keesokan harinya tiba di Gorontalo dan menginap di Kampung Bugis, dirumah keluarga Bapak Lamara Tantu.

Rumah tersebut juga adalah rumah kediaman Letkol AURI Djalaluddin Tantu, Pahlawan Dwikora, seorang Pilot dan Pasukan TNI-AU yang hilang di medan juang Dwikora. Nama sang pejuang itulah sekarang diabadikan menjadi nama Bandara Gorontalo.

Karena panjangnya perjalanan darat yang penuh debu tersebut, begitu tiba di rumah, Bapak Lamara Tantu sempat bertanya ini HMI apa yaki? Karena ketiga anggota tim ini rambutnya udah penuh debu berwarna cokelat, hasil perjalanan darat sehari semalam tersebut.

Maka tindakan pertama tim adalah mandi dengan menggunakan shampoo Kao Feather sachet kecil dipakai bertiga yang dibeli di warung sebelah jalan depan rumah dengan harga Rp 25 saat itu.

Setelah dua hari penjajakan, barulah Mbak Diana Nurmin dengan didampingi saya, menuju Gorontalo menggunakan pesawat Merpati kecil jenis Twin Otter yang bikin sakit kuping itu.

Sesuai arahan advance team, Mbak Diana Nurmin pun menginap di kediaman salah satu anggota Kohati Manado, Nitta Hippy, di Kampung Talaga, Gorontalo. Lalu dilakukan agenda berupa audiensi dengan para senior alumni HMI di Gorontalo, termasuk Kapolres Gorontalo saat itu, untuk mempersiapkan pembentukan kembali HMI Cabang Gorontalo.

Termasuk mengunjungi tokoh HMI Manado yang sempat menjadi korban dalam Peristiwa G.30.S/PKI yaitu Kanda Drs. Tjipto Lihawa di ruang kerjanya di Kantor Pemda Kabupaten Gorontalo. Kanda Tjipto Lihawa adalah salah satu korban selamat namun kawan seperjuangannya Drs. Jusuf Hasiru, tewas tertembus peluru.

Saya ikut melihat, Kanda Tjipto Lihawa yang sempat menunjukkan tanda bekas luka operasi besarnya di bagian perut. Ususnya sempat sobek kena peluru, namun Allah SWT berkehendak lain, ia selamat. Sedangkan sopir mereka Dicky Oroh, ikut tertembak dan tewas. Dicky Oroh diakui sebagai anggota GAMKI Sulut. Adapun Jusuf Hasiru, tewas tertembak sebagai syuhada angkatan 1966, lengkap dengan jaket HMI nya.

Jaket HMI nya sendiri dipinjamnya dari Pak Zubair Suleman (mantan anggota DPRD Sulut), yang juga anggota HMI dan sesama penghuni asrama Huyula (Asrama Beringin), asrama mahasiswa Gorontalo di Manado. Jusuf Hasiru dan Dicky Oroh kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kairagi, Manado. Karenanya, dua makam ini sering diziarahi oleh aktivis HMI Manado.

Kembali lagi ke laptop, HMI Gorontalo pun dibentuk dalam beberapa hari kepengurusannya dan dilantik oleh Mbak Diana Nurmin selaku Wakil Ketua PB HMI di kediaman keluarga Nitta Hippy, Talaga.

Acara pelantikan ini berlangsung penuh hikmah, dipandu oleh Gustam Ali, mantan Sekum HMI Manado pada saat konflik asas tunggal. Dan berkumandang kalah lagu Indonesia Raya disertai Hymne HMI yang dipandu oleh Sarinandhe Djibran, sekretaris Kohati Manado saat itu.

Diana Nurmin pun mengangkat janji atau baiat pengurus HMI Cabang Gorontalo yang diikuti oleh seluruh pengurusnya saat itu. Saya masih ingat Adrian Jaya Lahai sebagai Sekum HMI Gorontalo yang ikut dilantik saat itu. Setelah itu, HMI pun kembali berkibar di bumi Gorontalo hingga kini.

Organisasi ini, telah banyak melahirkan tokoh-tokoh di Gorontalo baik birokrat, akademisi, politisi, wirausahawan dan lainnya hingga kini. Kelebihan HMI adalah anggotanya yang memiliki ikatan emosional ideologis, ikatan mana melintasi batas-batas kesukuan dan latar belakang ekonomi.

Sebuah suasana yang harus dipertahankan hingga kapanpun. Silaturrahmi erat itulah menjadi faktor penentu dalam sebuah gerakan pembaruan di Indonesia. Seakanakan Surah Al Hujarat Ayat 13 ikut dipraktekkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dan Gorontalo pun menjadi sepotong lahan dari bumi Allah yang sedemikian luasnya, untuk turut merasakan nikmat silaturrahmi ala HMI tersebut.

Dan sekretariat pertama HMI Gorontalo pun menempati rumah kediaman keluarga Letkol. Djalaluddin Tantu, rumah bapak Lamara Tantu, di Kampung Bugis tersebut. (***)

*) Penulis adalah Ketua Umum HMI Cabang Manado periode 1986-1987



hari kesaktian pancasila