Oleh:
Ramaway Rojiah Juybe M. Y.
Mahasiswa Universitas Padjajaran

Setiap tahun kasus bunuh diri terus meningkat. The World HealthOrganization (WHO) menyatakan bahwa terdapat satu orang melakukan bunuh diri setiap 40 detik. Beberapa bulan yang lalu kita sangat dikejutkan oleh kasus bunuh diri di Provinsi Gorontalo yang meningkat secara signifikan dalam rentang waktu yang cukup singkat. Tercatat sudah ada lebih dari 20 kasus bunuh diri di Gorontalo dalam waktu kurang dari 2 bulan dimana bisa 3-4 kasus terjadi di tiap minggunya. Tidak hanya di Provinsi Gorontalo saja, di daerah lain juga kasus bunuh diri kian dianggap sebagai “solusi” untuk mengakhiri sebuah masalah hidup. Bahkan kejadian mengenaskan ini kerap terjadi di kalangan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Menurut data dari The World HealthOrganization (WHO) diperkirakan saat ini terdapat lebih dari 700.000 kasus bunuh diri per tahun di seluruh dunia.
Dilansir dari katadata.co.id (10/23) berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023. Melihat data tersebut kita dapat menyimpulkan adanya peningkatan kasus dari satu periode ke periode berikutnya. Namun angka perkiraan dari jumlah kasus bunuh diri yang tercatat masih lebih rendah dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, fenomena bunuh diri ini tentu perlu menjadi perhatian bagi kita semua agar angka kematian akibat kasus bunuh diri semakin berkurang.

Ide bunuh diri salah satunya dipicu oleh keadaan stres yang dialami seseorang, sehingga memotivasi dirinya untuk melakukan bunuh diri. Dalam upaya bunuh diri, data yang diperoleh menunjukkan bahwa mayoritas individu melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri, menggunakan racun, melompat dari ketinggian dan menggunakan senjata tajam (Onie, dkk, 2022). Terdapat banyak faktor yang memicu seseorang untuk melakukan bunuh diri antara lain: faktor demografi yang berkaitan dengan gender dan kondisi ekonomi, masalah psikologis seperti depresi, perfeksionisme, kecanduan alkohol dan obat-obatan, permasalahan sosial seperti isolasi sosial, keengganan meminta pertolongan karena adanya stigma serta kurangnya fasilitas layanan konseling dan juga adanya pengalaman percobaan bunuh diri yang telah dilakukan sebelumnya dan bunuh diri yang menular (Urme, 2022).
Lalu apa yang dapat kita upayakan untuk mencegah perilaku bunuh diri?
Penelitian yang dilakukan oleh Pramana, R. D., & Puspitadewi, N. W. S. (2014) dan Mohamed, B. E. S & Ahmed, M. G. A. E. (2022) mengungkapkan hasil yang sama bahwa kecerdasan emosional secara statistik berkorelasi negatif secara signifikan dengan keinginan untuk bunuh diri. Kecerdasan emosional yang lebih rendah menyebabkan ide bunuh diri yang lebih tinggi pada pasien depresi. Hal ini menjadi sejalan dengan penelitian lain dilakukan oleh Vučenović, D., Hajncl, L., &Brajković, L. (2022) yang mengungkap bahwa kecerdasan emosional dapat menjadi salah satu faktor protektif dan preventif depresi pada remaja. pada penelitian tersebut ditemukan tingkat depresi yang lebih tinggi pada partisipan dengan kecerdasan emosional yang lebih rendah.
Hasil penelitian Domínguez-García, E., &Fernández-Berrocal, P. (2018) mengindikasikan bahwa tingkat Kecerdasan Emosional yang tinggi memainkan peran penting dalam melindungi diri dari perilaku bunuh diri. Kecerdasan Emosional adalah konstruk kepribadian yang komprehensif yang menunjukkan kemampuan untuk memahami dan mengendalikan pengaruh dalam diri. Orang yang cerdas secara emosional mempunyai kesadaran sosial dan kesadaran diri. Orang-orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dapat membantu mereka dalam mengelola emosi, menikmati interaksi berkualitas lebih tinggi dengan teman. Mereka menghindari terjebak dalam depresi, kecemasan, atau kemarahan yang berlebihan.
Istilah kecerdasan emosional pertama kali muncul dalam tulisan Peter Salovey dan John Mayer di jurnal yang mereka tulis di 1990 dengan arti “kemampuan seseorang untuk memonitor perasan dirinya dan orang lain, mampu membedakannya serta mendayagunakannya untuk menuntun pikiran dan tindakannya”. Kemudian dalam perkembangannya kecerdasan emosional menjadi lebih populer dikenal sejak Daniel Goleman menerbitkan bukunya yang berjudul “EmotionalIntelligence: WhyIt Can Matter More Than IQ” di tahun 1995.
Bagaimana peran kecerdasan emosional dapat mencegah perilaku bunuh diri?
Terdapat empat kemampuan yang dimiliki oleh orang yang cerdas secara emosional antara lain adalah:PerceivingEmotions ( Penerimaan Emosi), UnderstandingEmotions (Memahami Emosi), ManagingEmotions (Mengelola Emosi), dan UsingEmotionstoenableadaptiveorcreativethinking (Menggunakan emosi untuk memungkinkan beradaptasi dan berfikir kreatif) ( Mayer etal., 2002).
Dengan mengembangkan kemampuan – kemampuan tersebut kita bisa menjadi lebih peka terhadap tanda-tanda kesusahan dan mencari bantuan saat dibutuhkan.
Pertama, kita menjadi lebih bisa mengenali perubahan perilaku, perubahan suasana hati, penarikan diri dari aktivitas sosial, atau peningkatan isolasi baik pada diri kita sendiri maupun pada orang lain, artinya hal ini juga dapat membantu dalam mengidentifikasi tanda-tanda tekanan pada orang yang mungkin memiliki risiko bunuh diri. Dengan demikian tindakan dan dukungan yang cepat dapat membuat perbedaan besar dalam menghindari akibat yang tidak diinginkan.
Kedua, setelah kita mengenali tanda-tandanya, penting untuk memberikan dukungan dan dorongan kepada mereka yang membutuhkannya seperti mengekspresikan empati, mendengarkan secara aktif, dan menunjukkan kepedulian yang tulus serta mendorong mereka untuk mencari bantuan profesional, atau menghubungkan mereka dengan kelompok pendukung dapat membantu mencegah bunuh diri. Hal ini juga berlaku untuk diri sendiri. Harapannya jika merasakan tanda-tanda seperti yang disebutkan pada poin pertama kita tahu bagaimana caranya mengelola emosi yang sedang kita rasakan, sehingga dapat segera untuk mencari dukungan dan bantuan kepada orang lain walaupun sekadar meminta mereka untuk mendengarkan kita secara aktif.
Ketiga, menerapkan kemampuan emosional dalam memahami emosi orang lain dapat menumbuhkan rasa empati dan dukungan berupa komunikasi yang lebih efektif,
sehingga juga meningkatkan rasa saling memiliki dan saling terhubung dan pada akhirnya dapat mengurangi perasaan kesepian dan isolasi yang dirasakan.
Dengan demikian ketahanan diri akan lebih terbentuk dan membuat kita lebih siap untuk menangani situasi sulit serta mudah mengatasi pemicu stres.
Terakhir, menggunakan kemampuan emosional dalam meningkatkan kesadaran diri masing-masing akan pentingnya memahami keadaan yang sedang orang lain rasakan dan pengaruhnya terhadap orang tersebut.
Dengan demikian kita dapat kita dapat menciptakan lingkungan yang mendorong dan menormalkan upaya mencari dukungan, sehingga bisa lebih awarelagi dalam menghargai kesehatan mental tiap orang.
Melalui tulisan ini saya berharap masyarakat luas akan lebih aware lagi dalam menanggapi fenomena perilaku bunuh diri yang sedang marak terjadi.
Langkah kecil yang kita ambil untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain dapat membawa pada perubahan yang besar bagi kehidupan.
Mari kita gunakan kecerdasan emosional sebagai salah satu langkah
dalam mencegah perilaku bunuh diri serta menjaga kesehatan mental setiap orang di lingkungan sekitar.
Referensi:
Myers, David G. (2015). SocialPsychology :11th Edition. New york : McGrawHill.
Domínguez-García, E., &Fernández-Berrocal, P. (2018). The association between emotional intelligence and suicidal behavior: A systematicreview. Frontiers in Psychology, 9, 2380.
Pramana, R. D., & Puspitadewi, N. W. S. (2014). Hubungan antara kecerdasan emosi dan tingkat depresi dengan ide bunuh diri pada peserta didik kelas X SMK Farmasi Surabaya. Character: Jurnal penelitian Psikologi, 2(3).
Vučenović, D., Hajncl, L., &Brajković, L. (2022). Depression and Emotional Intelligence–Gender and Age Differences in Youth. Kliničkapsihologija. 1-2, 15-25
Mohamed, B. E. S & Ahmed, M. G. A. E. (2022). Emotional intelligence, alexithymia and suicidal ideation among depressive patients. Archives of Psychiatric Nursing, Volume 37,Pages 33-38,
Urme, S. A., Islam, M. S., Begum, H., &Chowdhury, N. R. A. (2022). Risk factors of suicide among public university students of Bangladesh: A qualitative exploration. Heliyon, 8(6), e09659.
Onie, S., Daswin, A.V., etal. (2022). Suicide in Indonesia: Underreporting, ProvincialRates, and Means. DOI: psyarxiv.com/amnhw