Hargo.co.id, GORONTALO – Diantara hiruk pikuk pengunjung Hotel Grand Q Gorontalo, seorang perempuan paruh baya duduk tenang, tangannya tak berhenti menari bersama jarum dan benang. Wajahnya teduh, suaranya lembut, tapi cerita hidupnya begitu kuat.
Ia adalah Amina Lamadilawo, pengrajin karawo berusia 56 tahun dari Pilohayanga, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo.
Cerita Amina, bermula dari bangku sekolah dasar. Bukan di kelas menjahit, bukan pula dari warisan keluarga. Karawo hadir dalam hidupnya lewat rasa ingin tahu yang begitu tinggi dan ketekunan masa kecil.
“Saya kelas 5 SD itu sudah mulai menyulam Karawo. Bahkan, di kelas saya bawa, simpan di laci dan dikeluarkan saat jam istirahat,” kenangnya.
Bukan dari ibu atau nenek, tapi dari tetangga. Duduk bersama mereka menjadi gerbang pertamanya mengenal dunia karawo.
“Ini bukan kebiasaan turunan karena Mama saya bukan pengrajin. Saya cuma suka duduk dengan tetangga yang menyulam, lalu minta diajarkan,” kenang Amina lagi.
Perjalanan itu tak berhenti di desa. Bertahun-tahun mengasah keterampilan, menjadikan karawo bukan sekadar hobi, tapi sumber kehidupan dan pintu menuju dunia yang lebih luas. Jakarta menjadi panggung pertamanya. Undangan pameran berdatangan. Hingga suatu hari, undangan ke luar negeri pun mampir.
“Saya sudah beberapa kali pameran di Jakarta. Bahkan, baru-baru ini diajak ke New York, Amerika. Tapi saya tidak ikut, karena merasa sudah tidak muda lagi. Amerika terlalu jauh,” ungkap Amina.
Meski belum sempat menjejakkan kaki di Negeri Paman Sam, semangatnya tak surut. Sejak Oktober 2024, ia rutin memamerkan hasil karyanya di Hotel Grand Q Gorontalo. Di sana, bukan hanya menjual, tapi juga membagikan ilmu dengan tulus.
“Di hotel ini bukan hanya sekadar pameran. Siapa pun yang ingin belajar bisa duduk di samping saya. Saya ajarkan, dan itu gratis,” tutur Amina.
Dia juga sering diundang ke berbagai tempat, dari desa-desa hingga lembaga pemasyarakatan. Semua demi satu tujuan, menjaga warisan budaya tetap hidup dan lestari.
“Biasanya yang dari desa mengajukan ke Perindag Provinsi, lalu dari provinsi telepon saya. Saya ke banyak tempat, bahkan ke Lapas,” ucap Amina.
Karawo bukan hanya sulaman di tangannya. Ia telah menjelma menjadi gerakan. Lewat Rumah Aisya, usaha yang ia dirikan, Amina menjaring banyak tenaga kerja, dari penyulam, perancang motif, hingga penjahit.
Di tempat usahanya, harga karawo yang dijual Amina bervariasi, tergantung rumit dan besar kecilnya motif.
“Harga mulai dari Rp200.000 sampai Rp800.000, tergantung motifnya. Ada kualitas, ada harga,” bebernya.
Bagi Amina, yang paling penting adalah regenerasi. Ia menaruh harapan besar pada anak-anak muda.
“Kursus karawo ini penting, terutama buat anak muda yang akan jadi penerusnya.” pungkas Amina.
Amina adalah bukti hidup bahwa keterampilan lokal tak kalah dengan industri besar. Dari laci sekolah dasar, ia menapaki tangga demi tangga, menyulam benang menjadi karya, dan harapan menjadi nyata.(*)