Kabar Nusantara

Dari Laci Sekolah Hingga Nyaris ke New York: Perjalanan Amina Menyulam Asa Lewat Karawo

×

Dari Laci Sekolah Hingga Nyaris ke New York: Perjalanan Amina Menyulam Asa Lewat Karawo

Sebarkan artikel ini
Dari Laci Sekolah Hingga Nyaris ke New York_ Perjalanan Amina Menyulam Asa Lewat Karawo
Amina Lamadilawo, pengrajin karawo berusia 56 tahun dari Pilohayanga, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo. (Foto: Amina Lamadilawo tengah sibuk menyulam karawo)

Hargo.co.id, GORONTALO – Diantara hiruk pikuk pengunjung Hotel Grand Q Gorontalo, seorang perempuan paruh baya duduk tenang, tangannya tak berhenti menari bersama jarum dan benang. Wajahnya teduh, suaranya lembut, tapi cerita hidupnya begitu kuat.

Berita Terkait:  As SDM Polri Jelaskan Peran Penting Polwan Dalam Mengawal Pemilu Damai

Ia adalah Amina Lamadilawo, pengrajin karawo berusia 56 tahun dari Pilohayanga, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo.

Cerita Amina, bermula dari bangku sekolah dasar. Bukan di kelas menjahit, bukan pula dari warisan keluarga. Karawo hadir dalam hidupnya lewat rasa ingin tahu yang begitu tinggi dan ketekunan masa kecil.

Berita Terkait:  Ketum AMSI: Kami Tetap Konsisten Bangun Ekosistem Media Sehat dan Berkualitas

“Saya kelas 5 SD itu sudah mulai menyulam Karawo. Bahkan, di kelas saya bawa, simpan di laci dan dikeluarkan saat jam istirahat,” kenangnya.

Bukan dari ibu atau nenek, tapi dari tetangga. Duduk bersama mereka menjadi gerbang pertamanya mengenal dunia karawo.

Berita Terkait:  Amankan KTT ASEAN ke-43 Jakarta Lewat Udara, Polri: Drone Nakal Akan Ditindak

“Ini bukan kebiasaan turunan karena Mama saya bukan pengrajin. Saya cuma suka duduk dengan tetangga yang menyulam, lalu minta diajarkan,” kenang Amina lagi.

Perjalanan itu tak berhenti di desa. Bertahun-tahun mengasah keterampilan, menjadikan karawo bukan sekadar hobi, tapi sumber kehidupan dan pintu menuju dunia yang lebih luas. Jakarta menjadi panggung pertamanya. Undangan pameran berdatangan. Hingga suatu hari, undangan ke luar negeri pun mampir.

Berita Terkait:  Polisi Tembak Polisi di Bogor: Keluarga Korban Minta Kasus Ditangani Bareskrim

“Saya sudah beberapa kali pameran di Jakarta. Bahkan, baru-baru ini diajak ke New York, Amerika. Tapi saya tidak ikut, karena merasa sudah tidak muda lagi. Amerika terlalu jauh,” ungkap Amina.

Meski belum sempat menjejakkan kaki di Negeri Paman Sam, semangatnya tak surut. Sejak Oktober 2024, ia rutin memamerkan hasil karyanya di Hotel Grand Q Gorontalo. Di sana, bukan hanya menjual, tapi juga membagikan ilmu dengan tulus.

Berita Terkait:  Polri Gelar Deklarasi Pemilu Damai Bersama Penyedia Jasa Telekomunikasi

“Di hotel ini bukan hanya sekadar pameran. Siapa pun yang ingin belajar bisa duduk di samping saya. Saya ajarkan, dan itu gratis,” tutur Amina.

Dia juga sering diundang ke berbagai tempat, dari desa-desa hingga lembaga pemasyarakatan. Semua demi satu tujuan, menjaga warisan budaya tetap hidup dan lestari.

Berita Terkait:  Peringati Sumpah Pemuda, GPK Gelar Dialog Kepemudaan: Menolak Money Politik di 2024

“Biasanya yang dari desa mengajukan ke Perindag Provinsi, lalu dari provinsi telepon saya. Saya ke banyak tempat, bahkan ke Lapas,” ucap Amina.

Karawo bukan hanya sulaman di tangannya. Ia telah menjelma menjadi gerakan. Lewat Rumah Aisya, usaha yang ia dirikan, Amina menjaring banyak tenaga kerja, dari penyulam, perancang motif, hingga penjahit.

Berita Terkait:  Kapolsek Paguyaman Pantai Salurkan Paket Ramadan

Di tempat usahanya, harga karawo yang dijual Amina bervariasi, tergantung rumit dan besar kecilnya motif.

“Harga mulai dari Rp200.000 sampai Rp800.000, tergantung motifnya. Ada kualitas, ada harga,” bebernya.

Berita Terkait:  Jadikan Sepakbola Indonesia Lebih Baik, Polri dan PSSI Komitmen Sikat Mafia Skor

Bagi Amina, yang paling penting adalah regenerasi. Ia menaruh harapan besar pada anak-anak muda.

“Kursus karawo ini penting, terutama buat anak muda yang akan jadi penerusnya.” pungkas Amina.

Berita Terkait:  Pimpin Upacara Peringatan Hari Pahlawan, Wakapolda: Kita Bukan Bangsa Pecundang

Amina adalah bukti hidup bahwa keterampilan lokal tak kalah dengan industri besar. Dari laci sekolah dasar, ia menapaki tangga demi tangga, menyulam benang menjadi karya, dan harapan menjadi nyata.(*)