Menyusun Kepingan Puzzle Pelaku Teror Inggris

×

Menyusun Kepingan Puzzle Pelaku Teror Inggris

Sebarkan artikel ini
PENGHORMATAN: Masyarakat meletakkan bunga dan mengucapkan bela sungkawa di lokasi kejadian teror di dekat Gedung Parlemen Inggris. (AP Photo/Tim Ireland)

Hargo.co.id – Scotland Yard atau Kepolisian Metro London tengah menyusun kepingan puzzle kehidupan  Khalid Masood, pelaku serangan di Palace of Westminster. Mereka berusaha mengetahui apakah pria yang lahir dengan nama Adrian Russell Ajao itu bekerja sendiri setelah melihat propaganda teroris atau ada yang mendorongnya untuk melakukan kejahatan tersebut.

badan keuangan

Polisi juga mendalami motif serangan yang menewaskan 4 orang dan melukai 50 orang lainnya tersebut. ”Investigasi kami fokuskan untuk memahami motivasinya, operasi yang dilakukannya, serta rekan-rekannya,” ujar pejabat senior kepolisian di bidang antiterorisme Mark Rowley. ”Asumsi kami, dia terinspirasi aksi terorisme internasional,” tambahnya.

Polisi kini menyelidiki kemungkinan dia menggunakan aplikasi WhatsApp sesaat sebelum menabrakkan mobilnya di  Westminster Bridge Rabu lalu (22/3). Pesan di WhatsApp menggunakan enkripsi end-to-end.

badan keuangan

Jadi, pesan hanya ada di telepon genggam pengirim dan penerima pesan. Jika pesan sudah dihapus oleh keduanya, tidak ada jejak yang tersimpan. Menurut informasi yang diperoleh, ada pesan yang masuk ke HP Masood dua menit sebelum serangan.

Saat ini polisi telah menyita 2.700 barang dari 21 alamat yang dirazia. Termasuk data komputer dalam jumlah yang sangat besar. Rekaman CCTV di lokasi kejadian juga diambil. Petugas memerlukannya untuk mencari tahu apakah Masood datang ke tempat tersebut sebelum serangan guna mengecek lokasi.

Sebanyak 7 di antara 11 orang yang ditangkap Scotland Yard telah dibebaskan karena terbukti tidak terlibat. Dua pria tetap ditahan dan dua perempuan dibebaskan dengan jaminan hingga akhir Maret.

Jumat (24/3) polisi merilis foto Masood untuk kali pertama. Salah satunya adalah foto Masood saat bergabung di tim sepak bola Huntleys Secondary School for Boys di Tunbridge Wells, Kent, Inggris. Saat itu usianya masih 15 tahun. Dia anak baik-baik ketika itu. Namun, pergaulan yang salah membuat dia menjadi pemabuk dan pecandu narkoba.

”Adrian (Masood, Red) sangat bagus dalam bermain sepak bola. Dia salah satu pemain terbaik di sekolah. Dia juga sangat populer, pribadi yang menyenangkan. Semua orang menyukainya,” ujar Kenton Till, salah satu teman sekolahnya.

Adrian Russell Ajao masuk penjara untuk kali pertama pada 1983. Kala itu usianya masih 18 tahun. Sejak saat itu, selama sekitar 15 tahun dia terus berurusan dengan hukum. Tapi untuk kejahatan-kejahatan kecil. Baru pada pertengahan 1990-an, pria 52 tahun itu mulai berhenti melakukan kejahatan. Tepatnya ketika dia hidup bersama dengan Jane Harvey, perempuan yang memberinya dua putri, di Northiam, Sussex.

Adrian Russell Ajao kembali bermasalah pada Juli 2000. Dia dipenjara setelah menyayat wajah pemilik pub di desanya, Piers Mott, dengan pisau. Saat itu banyak pria bertubuh besar di pub yang berusaha menghentikannya. Namun, mereka tidak kuasa membendung kekuatannya. Beberapa tetangga menyebut dia memiliki masalah dalam mengendalikan amarah.

Serangan terhadap Mott itu kembali mengantarkan Russell Ajao ke penjara. Di penjara itulah dia memeluk Islam dan berganti nama menjadi Khalid Masood. Setelah keluar dari penjara, dia pindah ke Eastbourne dan kembali menyayat wajah orang dengan pisau. Pada Desember 2003, dia kembali ditangkap karena kepemilikan senjata tajam.

Pada 2004, dia keluar dari penjara dan menikah dengan Farzana Malik yang masih berusia 25 tahun. Di sertifikat pernikahannya, Masood mengaku berprofesi guru. Pernikahan itu tidak berumur panjang.

Kerabat Malik mengungkapkan bahwa Masood sangat kasar dan semacam psikopat. Malik harus melarikan diri dari rumah tanpa membawa apa pun dan tinggal di rumah sahabatnya karena ketakutan. Beberapa media lokal di Inggris menyebutkan bahwa Masood sempat menikah lagi dan memiliki anak.

Masood selalu berhubungan dengan putrinya yang bernama Andi. Pada 2008, di usia 16 tahun, Andi tertabrak truk saat menyeberang jalan untuk berangkat sekolah. Dia terluka parah. Masood menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdoa di samping tempat tidur Andi agar si anak sembuh.

Putrinya itu akhirnya mengikuti jejak sang ayah dengan masuk Islam dan mengenakan hijab. Tidak diketahui apakah dia menjadi ektremis seperti ayahnya. Sejauh ini, tidak ada catatan kejahatan yang dilakukan Andi.

Sehari sebelum melakukan aksi brutal itu, Masood menyewa kamar di Preston Park Hotel, Brighton. Dia menginap di hotel tersebut. Kepada staf hotel, Masood mengaku tengah mengunjungi temannya. Dia juga menyewa mobil Hyundai i40 dari rental mobil Enterprise di Solihull, Birmingham yang akhirnya digunakan untuk menabraki pejalan kaki di Westminster Bridge.

Manajer Preston Park Hotel Sabeur Toumi mengungkapkan bahwa Masood tinggal di hotel tersebut Jumat pekan lalu. Menurut dia, Masood adalah pria yang ramah dan kerap bercanda. Masood bahkan dengan santai mengatakan bakal pergi ke London sebagaimana akan pergi jalan-jalan, bukan menabraki orang.

”Ini sangat mengejutkan karena saat ini kami tidak tahu lagi siapa yang baik dan siapa yang jahat. Dia seperti orang normal lainnya yang menyewa kamar hotel,” tutur Toumi. Beberapa tetangga juga mengungkapkan bahwa pria yang ditembak mati setelah beraksi di Westminster tersebut adalah sosok yang religius dan taat beragama.

Mungkin karena keramahan itu, polisi sama sekali tidak curiga lagi meski Masood pernah masuk radar MI5 sekitar 5 tahun lalu. Intelijen tidak bisa mencium gelagat buruknya hingga detik terakhir sebelum dia melakukan penyerangan.

Kedutaan Besar Arab Saudi di London Jumat lalu mengungkapkan bahwa Masood pernah bekerja di Saudi sebagai guru bahasa Inggris. Tepatnya November 2005–April 2008. Namun, dia tidak memiliki masalah apa pun saat berada di Saudi. Dia juga berkunjung lagi ke negara itu pada Maret 2015.

Menurut sumber di Scotland Yard, usia Masood yang sudah kepala lima tidak cocok dengan kebanyakan militan yang melakukan aksi teror. Biasanya, rata-rata pelaku serangan berusia di bawah 30 tahun. Masood juga tidak pernah menunjukkan minat untuk bepergian ke luar negeri dan bergabung dengan kelompok militan Islamic State (IS) alias ISIS.

”Masood sedikit tidak biasa karena usianya yang lebih tua (dibanding pelaku teror lain, Red). Tapi, kami kan tidak tahu sudah berapa lama dia diradikalisasi,” ujar peneliti senior di Royal United Services Institute, London, Shashank Joshi.

Dia menambahkan, berdasar laporan MI5, diketahui separo dari ratusan ekstremis di Inggris lahir di negara tersebut. Beberapa di antaranya dibesarkan di keluarga yang religius dan sebagian besar masuk Islam saat sudah dewasa seperti halnya Masood. (AFP/Reuters/The Telegraph/BBC/sha/c11/any)