Hargo.co.id GORONTALO – Ketua Dewan Adat Gorontalo, Abdul Karim Pateda menegaskan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin di daerah ini. Penegasan itu membuktikan jika mantan Sekda Bone Bolango tak sependapat dengan isu-isu bahwa perempuan tak boleh jadi pemimpin di Gorontalo.
“Kalau kita telusuri sejarah-sejarah kerajaan dulu. Pernah ada raja Limboto itu Ti Mbui Bungale. Sebagai Olongia (Raja Perempuan), tapi disatu sisi dia punya orang kepercayaan. Sehingga dalam membuat satu kesepakatan atau perjanjian-perjanjian, bukan langsung raja. Kita dengar di perjanjian yang terjadi Duluwo Mohutato, hanya Jogugu Popa dan Raja Eyato. Mengapa? Karena Raja Limboto saat itu perempuan. Berdasarkan itu, orang memaknai bahwa Olongia itu bisa perempuan,” kata Abdul Karim Pateda.
Dirinya menambahkan, jika suatu daerah di Gorontalo dipimpin perempuan, ada beberapa hal yang diganti ketika para pemangku adat melaksanakan prosesi adat di hari-hari besar Islam.
“Untuk prosesi adat, ibu-ibu tidak wajib diberi penghormatan atau tubo, laki-laki kan tidak bisa menghormati perempuan. Itu bisa digantikan dengan Motiwombipi. Dan ini dibalas oleh olongia perempuan dengan merunduk,” jelas Karim Pateda.
Lalu bagaimana dengan tempat duduk untuk seorang pemimpin perempuan saat prosesi adat? Karim Pateda menjawab, tempat duduk untuk kaum perempuan selalu disediakan pada prosesi adat. Lokasinya dipisahkan dari tempat duduk laki-laki.
“Duduk di dalam ruang persidangan adat, namanya bulita. Kalau dia sebagai istri dari olangia dia harus disiapkan tempatnya yang disebut tempat mongombui. Kalau dia punya jabatan disebut ti mbui biluwato artinya seorang ibu yang punya kedudukan jabatan itu juga disiapkan tempat duduknya. Tempat duduknya tidak dicampurbaurkan dengan ruang laki-laki. Ibu-ibu satu ruangan, laki-laki satu ruangan,” jelas Karim Pateda.
Karim Pateda juga mengungkapkan, untuk hari-hari besar Islam yang dilaksanakan di masjid, jika pemimpin perempuan berhalangan, bisa digantikan oleh suami atau wakilnya.
“Prosesi adat di hari besar Islam yang ada kaitan rumah dinas dengan masjid, sehingga dalam pelaksanaan itu setiap olongia turun dari rudis untuk menuju masjid. Kalau dia pemimpin perempuan, kemudian tidak bisa hadir, prosesi adatnya tetap dilaksanakan. Dan untuk ke masjid bisa digantikan dengan suami atau wakilnya,” tutup Karim Pateda.
Pernyataan Karim Pateda ini tekait munculnya ‘serangan’ terhadap calon wakil bupati perempuan yang tengah bertarung di Pilkada. Misalnya, Merlan Uloli yang kini tengah ikut Pilkada di Bone Bolango dengan posisi Calon Wakil bupati. Dimana, salah satu jurkam paslon lain menyebut bahwa sesuai adat, perempuan tidak bisa memimpin di Gorontalo. (rwf/adv/hg)