Oleh: Alim S. Niode

TERBUKA, sportif kadang renyah dan balak-blakan meskipun tetap cermat dan hati-hati dalam berdiskusi. Demikian rata-rata kesan singkat publik untuk almarhum, setidaknya saat menampaikan pesan dan kesan mewakili wisudawan saat itu. Niatnya sederhana, untuk menaikkan rating wisudawan angkatan kami, pak Jusdin menyisipkan berita pelantikan saya sebagai kepala Ombudsman RI Perakilan Provinsi Gorontalo.
Tapi surprise buat para hadirin justru saat wisudawan di panggil, lalu tersebutlah nama Dr. Jusdin Puluhulawa, SH., M.Si. Pak Tontowi Fadeli, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang waktu itu sempat terperanjat. Beliau dan semua yang hadir tahu bahwa saat itu adalah upacara wisuda untuk jenjang pendidikan S1, tiba-tiba ada yang M.Si., doktor pula.

Kemaren sore saya terima berita atas kepergian pak Jus (kami biasa menyapanya demikian) selama-lamanya. Saya berusaha tidak terperanjat – meski sesungguhnya ya – karena beberapa hari sebelumnya sudah mengalami hal yang sama ketika sedang membuka kliping pembentukan Kabupaten Bone Bolango.
Disana ada sebuah suasana perjalanan juang di mana sang induk ayam tidak ikut mengerami telurnya (Gorontalo: mo hububu).
Saya tak menyangka, setelah pohon berbuah, setelah kabupaten itu terbentuk, almarhum pun segera berlalu untuk tidak memetik jabatan apapun di sana.
Padahal tak ada keraguan atas peran nyata pak Jus sebagai tokoh disaat itu.
Ini nukilan peristiwa yang bagi saya menunjuk jejak karakter almarhum. Sekali lagi: renyah, blak-blakan tapi selalu cermat, rendah hati.
Atas ajakan Pak Sastro (sekarang Profesor Administrasi Publik, pernah menjabat Dekan FIS UNG) dan Pak Udin Hamim, tahun 2009 akhirnya saya memutuskan untuk meneruskan penulisan disertasi ”Pola Konstruiksi Ideologi Lokal Gorontalo” yang kemudian berubah menjadi “Hegemoni Negara Atas Petani”, di Universitas Brawijaya Malang. Saya dan pak Sastro tinggal serumah dengan pak Jusdin bersama keluarga yang kebetulan sudah duluan dari kami.
Di sela perkuliahan di UB kami mengambil kuliah pula di STIH untuk menajamkan persepektif dan memperkuat penteorian terkait hukum yang mendukung penulisan disertasi. Sependek ingatan saya, gagasan ini berawal dari pak Jusdin. Walhasil, ketiga mereka alhamdulilah segera menyelesaikan ujian disetasi nya, kecuali saya, karena alasan tertentu.
Pak Udin Hamim dan pak Sastro wisuda lebih awal di STIH, selanjutnya saya dan pak Jusdin menyusul kemudian. Seperti cerita di awal, kami menjalani proses perkuliahan itu dengan serius sesuai es o pe hingga di wisuda sebagai Sarjana Hukum.
Bagi sebagian orang, ini bukan hanya soal gelar, tetapi apresiasi atas sebuah proses perjuangan.
Meski demikian, sependek ingatan saya almarhum pun tak keberatan ketika penulisan nama tak disertai dengan embel-embel gelar itu. Saya tahu dari dulu pak Jus adalah orang yang tulus!
Sebagian besar angkatan kami di STIH kuliah sambil kerja, dan tidak lagi muda segar seperti mahasiswa S1 pada umumnya. Kuliah sore biasanya braat karena kecapean aktifitas pagi sambil menahan kantuk. Pada sebuah perkuliahan seorang dosen yang sedang menduga latar belakang status kemahasiswaan kami menunjuk ke pak Jus dan bertanya: “Apa beda suasana perkuliahan di S1 dan di S3”. Pak Jus menjawab diplomatis sambil terenyum: “sama dengan beda mengajar di S1 dan di S3, pak”! Pak dosen menjawab: “wah, maaf saya belum pernah mengajar mahasiswa S3”.
Sebelum sang dosen makin terpojok pak Jus dengan tangkas segera menangkup stuasi: “bapak sekarang sedang mengajar mahasiswa S3, setidaknya kami berempat (sambil menujuk saya, pak Sastro dan pak Udin Hamim). Pak dosen tersenyum masygul, tidak jatuh emang.
Tapi jawaban pertanyaanya menjadi tergantung.
Sambil berbisik kata pak Jus: “pak Alim, ayo pukul-pukul dulu biar ga ngantuk (maksud pukul-pukul adalah bertanya dan berdiskusi).
Saya lalu acung tangan menjawab: “Suasana belajar dan mengajar di S1 dan S3 emang beda, pak.
Seperti sekarang, aroma S1 minyak wangi dan aroma S3 nya minyak angin (sambil menunjuk minyak angin kwan long pak Jus yang terletak di atas meja di depanya).
Riuh ributlah suasana kelas penuh tawa.
Hilang kantuk, dosen kami lancar dan senang ngajar, semua peserta belajar pun segar dan antusias. Kata Prof. Bakri waktu itu (beliau adalah guru besar hukum agraria di FH UB): pantas suasana kelas sekarang beda, ya. Ternyata ada empat orang mahasiswa S3 sekalian merangkap mahasisawa S1.
Break the ice pak Jus tak hanya sekali dua, tapi menjadi bagian dari karakter almarhum untuk selalu mengubah suasana vakum menjadi ceria.
Bagi Prof. Karmila Mahmud PhD., profile almarhum yang demikian menjadi bagian kesaksian suksesnya memimpin senat mahasiswa sebagai ketua dibawah arahan pak Jusdin yang saat itu menjabat seabagai wakil rektor bidang kemahasiswaan di STKIP Negeri Gorontalo.
Andai kata Prof. Karmila menjadi mahasiswa di kampus yang sama pada sekitar tahun 1986,
tentu saja akan makin yakin betapa seorang Jusdin tak hanya dosen atau pejabat struktural kampus bahkan di luar kampus (pernah menjabat sebagai kepala Bappeda Kabupaten Pohuwato) tanpa latar kemahasiswaan yang biasa-biasa saja.
Seperti kesaksian Drs. Adrian Lahay (mantan kepala kesbangpol provinsi Gorontalo) bahwa pada saat itu almarhum adalah Ketua bidang PAO HMI cabang Gorontalo pada tahun 1986/1987.
Saya kira, pak Adrian juga akan setali tiga uang dengan prof. Karmila terhadap almarhum.
Betapa sebelum hijrah ke gorontalo pak Jusdin dengan vespa PX warna putih nya adalah salah satu pegiat sekaligus salah satu perintis dan pengurus berdirinya Ikatan Seniman Mahasiswa Gorontalo (ISMG) pada sekitar 1985-an ketika pak Gusnar Ismail menjabat sebagai ketua umum HPMIG Manado.
Pak Arfan Arsyad, pak Rosman BaU, dkk lainya bersama-sama menggelorakan semangat berkesenian pada mahasiswa di Gorontal di Manado saat itu. Profile aktivis memang menjadi bagian hidup beliau, sebelum menjadi salah satu pengurus KNPI bahkan KOSGORO, di saat muda nya.
Suatu sore, sebelum senja merah merona memeluk kota Malang, kami duduk di teras rumah kost menikmati kolak panas yang di hidangkan ibu Non, isteri pak Jus.
Tiba-tiba almarhum memulai pembicaraan:
“masih ada satu lagi yang harus kita kejar: harus bisa khotbah Jum’at,
agar pengabdian mayarakat tidak hanya untuk memproleh kum kenaikan pangkat,
tapi juga pengabdian ilmu untuk kepentingan umat menjadi ilm yantafa’bih tabungan akhirat nanti!”.
Mimiknya serius saat mengucapkan kalimat itu.
Saat kami belum sempat merespon kelanjutan ajakan itu,
almarhum segera menimpali dengan ajakan untuk berkunjung ke TB Toga Mas membeli buku khotbah Jum’at pilihan.
Itulah salah satu ciri almarhum: menggagas, lalu menindak lanjuti gagasan.
Lama tak jumpa, hari ini almarhum Dr. Jusdin Puluhulawa, SH., M.Si. pergi untuk selamanya meninggalkan kita semua.
Sosok pribadi yang humble ini bagi saya selalu berkhotbah dalam kenangan sebagai seorang kawan sejati,
dia datang tidak hanya pada saat suasana sukaria, tetapi justru ketika dalam suasana duka cita. Itulah duka sepanjang jalan kenang. Selamat jalan pak Jus…(*)