Oleh: Dr. Funco Tanipu, MA (Dosen FIS UNG)
Dalam sebulan terakhir, pemberitaan terkait bunuh diri sudah dihentikan oleh teman-teman wartawan. Ada pula himbauan untuk tidak melakukan siaran langsung di media sosial, termasuk membagikan video kasus bunuh diri. Praktis tidak ada lagi berita terkait bunuh diri dan termasuk postingan netizen berkurang.
Tapi, dalam sebulan terakhir ini, angkanya malah semakin meningkat. Bahkan di bulan Juli tercatat ada 6 kasus, di awal Agustus sudah ada 4 kasus.
Dengan demikian, pengaruh pemberitaan dan juga postingan di media sosial tidak bisa dianggap sebagai faktor utama “copycat”.
Kalau bukan berita media dan postingan di media sosial, lalu apa instrumen lain yang menyebabkan orang bisa meniru sekaligus memicu tindakan bunuh diri?
Di Gorontalo, sebelum ada teknologi digital, ada instrumen penyebaran informasi yang memiliki daya jangkau dan kecepatan luar biasa. Instumen tersebut dikenal dengan istilah karlota.
Istilah karlota diambil dari nama Charlotta, seorang pembantu rumah tangga di film Maria Cinta Yang Hilang. Karakkternya suka bergosip, menguping pembicaraan orang, hingga manas-manasi hubungan orang sampai retak.
Di Gorontalo, kata Karlota menjadi bagian dari suku kata yang tidak resmi dalam bahasa lokal. Karlota biasa diartikan sebuah aktifitas yang suka melakukan gosip atau karakter orang yang suka gosip.
Biasanya, dari aktifitas karlota akan banyak data dan informasi yang tak perna muncul di media yang mainstream. Karlota bisa disebut sebagai media anti mainstream. Walaupun informasi dan data dari aktifitas karlota perlu untuk diverifikasi.
Kekuatan karlota ditunjang pula dengan kecepatan dan kekuatan word of mouth yang dimiliki masyarakat Gorontalo. Dulu, saat media sosial belum ada, isu Gola sangat cepat bergulir dari ujung barat hingga ke timur Gorontalo hingga bisa menggegerkan warga.
Nah, kasus bunuh diri saat ini telah merambah dari mulut ke mulut warga hingga masuk ke telinga orang-orang yang tingkat depresinya atau bahkan memiliki riwayat kelainan jiwa sehingga telah memicunya untuk melakukan hal yang sama.
Parahnya, dalam penyebaran informasi dimaksud tidak disertai dengan nilai edukasi terkait dengan fatalnya tindakan bunuh diri, termasuk lemahnya “hukuman sosial” bagi pelaku bunuh diri. Bahkan bunuh diri dianggap sebagai peristiwa kematian biasa.
Oleh karena itu, tentu mengubah karakter warga dalam penyebaran informasi bukanlah hal yang mudah, tapi yang bisa diupayakan adalah melakukan internalisasi pesan-pesan edukatif tentang fatalnya tindakan bunuh diri, dan sudah semestinya dirumuskan “hukuman sosial” bagi pelaku bunuh diri, sehingga “calon” pelaku bunuh diri akan memikirkan berulang-ulang tindakannya karena bisa berdampak negatif bukan saja pada dirinya, tapi juga keluarganya nanti. (*)