Persepsi

Demokrasi Sudah Basi

×

Demokrasi Sudah Basi

Sebarkan artikel ini
Demokrasi Sudah Basi
Ilustrasi.

Oleh: Sandyakala
Mahasiswa UNG

JUDUL yang saya pilih, entah bagaimana, terasa seperti ledakan spontan yang kini menuntut pertanggungjawaban. Apakah ia benar-benar menyatu dengan narasi yang saya bangun, atau hanya sekadar pajangan yang sengaja dibuat provokatif untuk memikat di permukaan? Ada kegelisahan yang mengendap di benak saya—jangan-jangan ia hanya permainan diksi yang memikat telinga, tetapi tak cukup bertaut dengan isi.

Saya menelusuri kembali dorongan awal yang melahirkan rangkaian kata itu, mencoba menangkap momen ketika ia pertama kali terlintas di kepala. Apakah ini sekadar ungkapan impulsif, atau justru lahir dari keresahan yang telah lama menjamur? Bagaimanapun, ia telah ada di sana, menggantung di atas tulisan ini, menuntut saya untuk menyelami lebih dalam.

Derita Gen Z yang kala membuka mata, memilih meraih gawai harus saya akui, keseluruhan lanskap digital yang setiap hari tersaji di hadapan saya menjadi daya dorong yang tak bisa diabaikan.

Kalian punya teman yang kerjaannya mengirimkan vidio reels? Saya sendiri memilikinya dan yakin kalian juga punya. Sialnya room chat kami tidak hanya diisi pembahasan yang membuat ngakak, lebih sering menggosipkan kebijakan dan berbagai kasus yang memuakkan.

Awal tahun 2025, riuh gegap gempita menyambut pemimpin baru yang melantangkan janji dengan penuh percaya diri.

Makan Bergizi Gratis digembar-gemborkan, para koruptor katanya bakal dikejar sampai ke Antartika. Rakyat, tentu saja, bertepuk tangan, sementara pemilik suara 58,6% berdiri lebih tegak—seolah ingin berkata, lihat, inilah pemimpin yang gue pilih!

Tapi di balik euforia, ada realitas yang tak bisa diabaikan. MBG menuai kritik, bukan hanya karena program ini terkesan terburu-buru dan minim persiapan, tetapi juga karena kualitasnya dipertanyakan. Lebih dari itu, biayanya pun tak main-main, hingga pemerintah melakukan pemangkasan besar-besaran di berbagai sektor.

Mengutip Antara.com pemerintah Indonesia mengumumkan rencana efisiensi anggaran sebesar Rp306,69 triliun untuk tahun anggaran 2025.

Langkah ini bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan dana negara dan mengalihkan anggaran dari pos-pos yang dianggap kurang esensial ke program-program prioritas yang berdampak langsung pada masyarakat. Tahu tidak, apa saja program prioritas itu? Adalah Makan Bergizi Gratis, ketahanan pangan, ketahanan energi, perumahan dan pertahanan keamanan.

Berita Terkait:  12 Jam Terjang Hutan TNBNW untuk Pesta Demokrasi di Pinogu

Program MBG ini menelan triliunan rupiah, tetapi apa yang dikorbankan? Infrastruktur jalan yang vital bagi konektivitas ekonomi terkena pemotongan drastis. Anggaran pendidikan yang seharusnya menopang kualitas SDM malah ditekan. Kesehatan? Jangan harap mendapat perhatian lebih. Hal yang diprioritaskan adalah piring makan anak-anak, bukan masa depan mereka secara menyeluruh.

Paradoks Dalam Kebijakan

Melansir Antara, Terdapat juga paradoks dalam kebijakan ini, di mana di satu sisi pemerintah melakukan efisiensi anggaran, namun di sisi lain membentuk kabinet dengan jumlah menteri dan wakil menteri yang lebih besar dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Sangking menonjolnya muncullah istilah kabinet gemuk dan kabinet gemoy. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi dalam upaya efisiensi yang dicanangkan.

Saya menemukan sebuah unggahan yang cukup menarik di Instagram—tentang program prioritas presiden yang dikemas dalam dua wajah: yang dijanjikan dan yang sebenarnya terjadi. Di satu sisi, ada narasi manis yang diumbar ke publik, di sisi lain, ada realitas yang jauh dari ekspektasi.

Katanya ini soal Makan Bergizi Gratis, aslinya hanya proyek memenuhi janji pemilu.

Katanya membangun ketahanan pangan, aslinya food estate yang malah merusak ekosistem.

Katanya ketahanan energi, aslinya deforestasi lalu akan diganti dengan sawit demi bioetanol.

Katanya memperjuangkan perumahan rakyat, aslinya proyek real estate mewah untuk segelintir orang. Katanya pertahanan dan keamanan, aslinya alat untuk mengawal kepentingan politik.

Hal ini membuat saya terlempar pada sebuah buku Sirah Nabawiyah Sisi Politis Perjuangan Rasulullah, karya Dr. Muhammad Rawwas Qal’ahji tersingkap satu kenyataan bahwa politik kebanyakan di kemukakan secara rahasia. Bahkan yang sering terjadi, mereka menyusun suatu rencana, sedang yang di publikasikan adalah sesuatu yang lain.

Memang rencana-rencana yang sifatnya politik harus dirahasiakan, sebab mempublikasikannya berarti menghancurkan masa depan negaranya. Dengan begitu siapa saja yang ingin mengamati realitas politik hendaknya ia membaca apa yang tertuang dalam dokumen bukan statement yg dilontarkan para politisi.

Artinya kebenaran tidak selalu terucap, ia tersembunyi dalam dokumen, laporan anggaran, dan keputusan-keputusan yang sering kali tak disorot publik. Sementara bagi mereka yang masih menelan janji-janji tanpa menggali lebih dalam, sadar atau tidak, mereka hanya sedang dikondisikan untuk percaya pada sesuatu yang mungkin tak pernah ada.

Berita Terkait:  Bahan Bakar Nira Aren untuk Tradisi Tumbilotohe

Kembali ke unggahan tadi. Jadi, benarkah ini demi rakyat? atau benarkah #NEGARAmilikELIT? Begitulah hastag yang menggantung di akhir postingan tersebut. Wajar saja muncul pertanyaan dengan nada serupa Jawabannya tak perlu diterka-terka. Kita cukup melihat siapa yang paling diuntungkan dan siapa yang terus-menerus jadi korban kebijakan.

Politik Roti dan Sirkus

Panem et circenes (roti dan sirkus) Strategi ini bukan hal baru. Para penguasa dari zaman Romawi kuno hingga rezim-rezim modern selalu menggunakan politik roti dan sirkus untuk mengalihkan perhatian rakyat dari masalah yang lebih substansial. Berikan makanan gratis, potongan PLN 50%, penghapusan hutang UMKM dan petani, pemeriksaan kesehatan gratis, biarkan mereka merasa ditolong, dan tutupi fakta bahwa sistem ekonomi sedang terpuruk. Hal seperti ini lazim di temukan dalam sistem hari ini Sekuler kapitalisme

Populisme dan otoritarianisme sering dianggap sebagai dua kutub yang berlawanan, tetapi sesungguhnya keduanya bisa bersimbiosis dalam sistem demokrasi itu sendiri. Pippa Norris dan Ronald Inglehart dalam Cultural Backlash (2019) menyingkap bagaimana populisme otoriter telah mengacaukan politik di berbagai negara, dari Trump di AS hingga Brexit di Inggris.

Fenomena ini disebut sebagai ancaman bagi demokrasi liberal, di mana pemimpin populis mengklaim berjuang untuk “rakyat” tetapi sejatinya hanya mengamankan kepentingan segelintir elite.

Populisme punya jejak yang mudah dilacak, tercatat dalam banyak studi, berulang di banyak negara. Tetapi benarkah fenomena ini hanya terjadi di luar sana? Atau justru kita sedang menyaksikan skenario serupa di negeri ini. Polanya? Buatlah kebijakan yang terdengar pro-rakyat, gaungkan ke seantero negeri dengan sorak-sorai media, lalu pastikan suara-suara kritis terbungkam. Kalau perlu, tarik para pengkritik agar duduk manis di lingkaran kekuasaan—sehingga oposisi pun kehilangan taringnya.

Ironisnya, pemimpin populis ini bisa saja lahir dari pemilu yang demokratis, tetapi dengan cepat menyeret demokrasi ke dalam kemunduran.

Prinsip “dari, oleh, dan untuk rakyat” menjadi slogan kosong, tergilas oleh nafsu kekuasaan yang justru melanggengkan dominasi segelintir elite. Demokrasi yang bertumpu pada kebebasan dan sekularisme sejatinya memberi ruang bagi intrik politik, adu kuat kepentingan modal, serta eksploitasi agama sebagai alat politik sesaat.

Berita Terkait:  Kasus Pada Anak yang Temper Tantrum dan Tidak Fokus Saat Pembelajaran

Namun, banyak yang masih beranggapan bahwa demokrasi harus dipertahankan, sementara penyimpangan dianggap sebagai kesalahan individu, bukan sistemnya. Padahal, bukankah setiap rezim selalu mengklaim sedang menyelamatkan demokrasi, meski justru menumpasnya dengan segala bentuk pengkhianatan?

Otoritarianisme Islam

Lucunya, ketika ada gagasan untuk menghadirkan kembali kepemimpinan berbasis Islam, banyak yang buru-buru menolak dengan dalih sistem semacam itu otoriter dan berbahaya. Bahkan, negara-negara muslim sendiri Indonesia contohnya turut menstigma ide tersebut seolah ancaman yang akan merusak tatanan global.

Di sisi lain, demokrasi sekuler terus dijual sebagai sistem yang paling humanis, menjanjikan kesejahteraan dan keadilan. Namun, sejarah justru menunjukkan sebaliknya—di bawah sistem ini, ketimpangan semakin nyata, moralitas kian terkikis, dan kepentingan segelintir elite lebih diutamakan daripada kesejahteraan masyarakat luas.

Sistem ini memberi ruang bagi mereka yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan kepentingan ekonomi untuk mengatur kehidupan, tanpa batasan nilai-nilai yang seharusnya menjadi pedoman.

Sementara itu, sistem kepemimpinan dalam Islam menawarkan konsep yang berbeda. Landasannya bukan kehendak individu atau kelompok tertentu, melainkan aturan yang berpijak pada nilai-nilai moral dan spiritual.

Prinsip kepemimpinannya mengutamakan kesejahteraan bersama, dengan kontrol ketat dari masyarakat yang berhak melakukan kritik dan pengawasan. Kekuasaan pun bukan alat untuk memenuhi ambisi pribadi, melainkan amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

Sejarah mencatat, selama berabad-abad umat Islam hidup dalam sistem yang mampu menjaga stabilitas, keadilan, dan kesejahteraan. Kehidupan sosial berlangsung dalam suasana yang penuh dengan nilai moral, dan dari peradaban inilah banyak ilmu serta kebijakan lahir, yang hingga kini masih dirasakan manfaatnya di berbagai belahan dunia.

Tentu, dalam praktiknya pernah ada penyimpangan—namun bukan karena sistemnya yang cacat, melainkan faktor individu yang menjalankannya. Ini berbeda dengan demokrasi yang sejak awal sudah membuka celah bagi kepentingan pragmatis untuk mendominasi.

Sebab, mempertahankan sistem yang jelas-jelas melahirkan ketidakadilan, sama saja dengan membiarkan masyarakat terus terjebak dalam lingkaran permasalahan yang tak berkesudahan.(*)