Persepsi

Krisis Daya Beli dan Budaya Konsumtif

×

Krisis Daya Beli dan Budaya Konsumtif

Sebarkan artikel ini
Krisis Daya Beli dan Budaya Konsumtif
Ilustrasi AI

Oleh: Sandyakala
Mahasiswa UNG

APA jadinya jika kebahagiaan didefinisikan sebagai kebebasan membeli, bahkan dengan uang yang belum kita miliki?

Pertanyaan ini bukan sekadar renungan filosofis. Di baliknya, ada realitas yang semakin kasat mata. Di tengah melemahnya daya beli masyarakat akibat tekanan ekonomi, justru terjadi lonjakan penggunaan layanan paylater dan cicilan digital.

Fenomena ini mencerminkan paradoks: ketika masyarakat makin sulit memenuhi kebutuhan pokok, sistem justru menawarkan ilusi kemudahan melalui utang konsumtif.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Ferbuarari 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut PayLater di sektor perbankan menyentuh angka Rp 21,98 triliun.

Mengutip Liputan 6 (11 April 2025) Tanah Abang, yang selama ini dikenal sebagai pusat perniagaan terbesar di Asia Tenggara, pun tak luput dari lesunya roda ekonomi. Pedagang mengeluhkan penurunan omzet yang tajam pada momen Lebaran 2025, sebagaimana dilaporkan MetroTV.

Tak hanya sektor perdagangan yang merasakan dampaknya. Sektor pariwisata yang selama ini menjadi tumpuan pergerakan ekonomi di masa liburan juga menunjukkan gejala serupa.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memprediksi tren pergerakan wisatawan pada periode libur Lebaran 2025 akan mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya (Pikiran Rakyat, 13 April 2025).

Daya beli masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di DKI Jakarta, tengah mengalami penurunan yang nyata. Bukan tanpa sebab. Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok, serta meningkatnya beban utang menjadi kombinasi tekanan yang menghimpit penghasilan rumah tangga.

Di sisi lain, perlambatan ekonomi global turut memperparah situasi, menambah beban pada ekonomi nasional yang memang sudah rapuh.

Dalam kondisi seperti ini, banyak masyarakat terpaksa mencari jalan pintas untuk bertahan hidup.

Berita Terkait:  Kedudukan Peraturan Presiden dalam Sistem Perundang-undangan di Indonesia

Salah satunya dengan berutang, terutama melalui skema paylater—sebuah metode pembayaran yang menjanjikan “belanja sekarang, bayar nanti”. Kemudahan akses belanja online membuat penggunaan paylater makin meluas, bahkan menjadi bagian dari kebiasaan baru. Di balik tawaran kenyamanan itu, tersembunyi jebakan hutang konsumtif yang perlahan menjerat.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme sekuler yang mengatur urat nadi perekonomian hari ini. Kapitalisme mendorong budaya konsumsi besar-besaran, menanamkan dalam benak masyarakat bahwa kebahagiaan dan harga diri seseorang diukur dari apa yang mereka miliki.

Bukan dari apa yang mereka butuhkan, tapi dari apa yang bisa mereka tampilkan. Dalam ekosistem semacam ini, paylater bukan sekadar alat pembayaran, melainkan mesin pendorong konsumerisme yang menyamar sebagai solusi.

Akhirnya, masyarakat didorong untuk terus membeli meski daya belinya melemah, diperdaya untuk tetap merasa mampu meski kenyataannya makin bergantung pada utang.

Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup secara sehat dan mandiri menjadi konsekuensi yang diabaikan. Inilah wajah sistem sekuler kapitalisme: membebaskan manusia untuk memilih, tetapi dengan menanam jebakan di setiap pilihan itu.

Fenomena paylater yang kini menjamur sebenarnya berdiri di atas praktik riba—sebuah transaksi berbunga yang dalam Islam jelas dilarang.

Bukannya membantu masyarakat keluar dari kesulitan, justru model ini rentan memperparah beban ekonomi individu, menambah tekanan psikologis, dan pada akhirnya menjauhkan masyarakat dari keberkahan hidup.

Berbeda dari sistem kapitalisme yang membebaskan perilaku konsumtif tanpa kontrol moral, Islam menawarkan pendekatan yang lebih bertanggung jawab. Dalam perspektif Islam, setiap individu dipandang sebagai makhluk yang harus mempertanggungjawabkan semua pilihannya di hadapan Allah SWT.

Karena itu, tolak ukur kebahagiaan tidak semata-mata bersandar pada materi, melainkan pada kualitas ketaatan dan perolehan rida-Nya.

Berita Terkait:  Anak yang Emosi dan Memiliki Sifat Sensitif Pada Anak Usia Dini

Penerapan Islam secara menyeluruh akan membangun kesadaran kolektif bahwa kesejahteraan sejati lahir dari sistem yang adil dan berbasis nilai.

Dalam ekonomi Islam, negara wajib menjamin kebutuhan dasar tiap rakyat, bukan membiarkan mereka terjebak dalam utang berbunga untuk memenuhi hidup sehari-hari.

Lebih jauh, negara dalam sistem Islam akan menutup ruang bagi praktik ribawi, karena negara berperan aktif dalam menjaga masyarakat dari transaksi-transaksi yang merugikan secara moral dan ekonomi.

Dengan demikian, kesejahteraan rakyat dibangun di atas landasan keadilan, bukan ilusi konsumsi yang menjebak.

Islam membangun kesejahteraan rakyat melalui sistem yang adil dan menyeluruh.

Negara dalam Islam bukan sekadar berfungsi sebagai pengatur, tetapi bertanggung jawab penuh untuk memastikan setiap individu terpenuhi kebutuhan pokoknya, mulai dari pangan, sandang, papan, pendidikan, hingga kesehatan.

“Dan janganlah kamu membiarkan orang-orang yang lemah di antara kamu terlantar.” (QS. An-Nisa: 9)

Kesejahteraan bukan hanya dibiarkan menjadi urusan pasar bebas, tetapi menjadi mandat negara yang harus dijalankan dengan serius.

Dalam ekonomi Islam, praktik riba dilarang tegas karena riba hanya akan memperdalam kesenjangan sosial dan menjerat masyarakat dalam beban utang. Sebagai gantinya, sistem keuangan Islam berbasis pada keadilan, transaksi riil, dan pembagian risiko yang sehat.

Selain itu, sumber daya alam seperti tambang, minyak, gas, dan air merupakan milik umum yang harus dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan diserahkan kepada segelintir pihak yang mengambil keuntungan pribadi.

Islam juga memastikan distribusi kekayaan berjalan secara adil. Melalui instrumen seperti zakat, sedekah, hibah, dan larangan menimbun harta, Islam mencegah terjadinya penumpukan kekayaan hanya di tangan sekelompok kecil masyarakat. Berdasarkan firman-Nya

“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Berita Terkait:  Pengrusakan Alat Kerja Jurnalis: Bukti Polisi Masih Represif

Negara berperan aktif dalam memberdayakan ekonomi rakyat, membuka akses yang adil terhadap lahan, modal, dan peluang usaha, sehingga rakyat bisa mandiri tanpa harus bergantung pada utang konsumtif.

Di sisi lain, stabilitas harga dan keadilan di pasar menjadi perhatian penting. Negara bertugas mengawasi pasar, mencegah praktik curang seperti monopoli, penimbunan barang, dan manipulasi harga.

Dengan demikian, kehidupan ekonomi berjalan sehat dan berkeadilan, jauh dari pola eksploitasi yang sering ditemui dalam sistem kapitalisme.

Semua ini menunjukkan bahwa Islam menawarkan konsep kesejahteraan yang bersumber dari nilai moral dan tanggung jawab negara kepada rakyat. Bukan sekadar mengejar angka pertumbuhan ekonomi, melainkan membangun kesejahteraan sejati yang dirasakan nyata oleh seluruh lapisan masyarakat.