Hargo.co.id, GORONTALO – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI), Dikki Akhmar menyebut industri energi biomassa banyak memberikan manfaat kepada publik.
Seperti halnya di Gorontalo. Industri yang dijalankan PT. BTL dan IGL itu, telah banyak menyerap tenaga kerja. Buktinya, kata Dikki, berdasarkan data yang diterima pihaknya, dari 1.200 tenaga kerja yang dipekerjakan, 90 persennya adalah warga lokal.
Lebih dari itu, tambah dia, pekerja lokal yang direkrut, juga dibekali dengan pelatihan.
“Mereka juga punya karyawan 1.200. 90 persennya dari warga lokal. Mereka juga di didik, karena banyak yang tidak memadai,” kata Dikki ketika memberikan keterangan pers usai FGD tentang industri energi biomassa yang diselenggarakan pihaknya pada Kamis (19/9/2024) di Hotel Aston.
Bukan cuma menyerap tenaga kerja, hingga berdampak pada berkurangnya angka pengangguran, lanjut Dikki, pelaku industri juga akan membayar pendapatan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 40 miliar.
Dari angka itu, menurutnya, 60 persen akan dikucurkan ke daerah yang selanjutnya akan dibagi 30 persen ke pemerintah provinsi dan sisanya untuk daerah dimana industri beroperasi.
“Selain itu, perusahaan juga akan menyalurkan CSR dan TJSL kepada masyarakat,” sambung Dikki.
Sementara terkait FGD yang dihadiri Profesor ahli bio energi dan Kemneterian Lingkungan Hidup, ucap Dikki, bertujuan untuk memberikan edukasi sekaligus memberikan ruang kepada pemerhati lingkungan yang ada di Gorontalo untuk memberikan masukkan.
“Tujuan FGD ini, untuk mengharmonisasi supaya industri pembangunan yang dilakukan dapat diterima oleh masyarakat. Dan juga sebetulnya kita butuh masukkan dari pemerhati lingkungan, mereka bisa sampaikan apa yang mereka takutkan, apa yang tak boleh kita perbuat, supaya ada solusinya,” tegas Dikki.
“Bukan hanya sekadar menyatakan ilegal dan bahaya. Kalau bahaya, dimana bahayanya dan kapan terjadi? itu kasih tau ke kita. Sayangnya, mereka tidak hadir. Mudah-mudahan informasi yang kami berikan bisa sampai ke masyarakat,” tambahnya.
Dikki juga menegaskan, industri yang dibangun bukan industri yang murah. Dia bilang, menjalankan industri tersebut, butuh biaya hingga Rp 2 triliun. Dengan angka begitu, kata dia, otomatis pelaku industri pasti menjaga kesinambungan bisnis.
“Mereka pasti pertimbangkan soal sosial, masyarakat dan lingkungan. Jadi, dalam menjalan industri ini, tata cara kelola hutan yang harus dilakukan dijalankan oleh mereka. Kalau ditemukan ada pelanggaran, tentunya semua pihak akan ambil tindakan,” tuturnya.
“APREBI sebagai asosisasi, juga punya kewenangan menegur mereka, tapi selain itu kita boleh lindungi anggota kita,” ujar Dikki.(*)
Penulis: Rendi Wardani Fathan