Oleh:
Hamka Hendra Noer
Menyelesaikan Ph.D Ilmu Politik dari Universitas Kebangsaan Malaysia
Dosen FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Hubungan politik-birokrasi di Indonesia saat Pilpres 2024 menjadi wacana menarik untuk dicermati. Pola hubungan politik-birokrasi yang diistilahkan oleh beberapa ahli sebagai relasi antara ‘cinta’ dan ‘benci’ menjadi topik yang hangat diperdebatkan. Politik-birokrasi adalah ‘dua sejoli’ yang dianalogikan sedang ‘berpacaran’. Layaknya orang yang sedang berpacaran akan selalu ada dua perasaan yang muncul silih berganti yaitu perasaan ‘cinta’ dan ‘benci’. Di satu sisi mereka ingin selalu berdekatan dan bekerjasama, tetapi di sisi lain ingin saling menjauh dan berdiri sendiri. Dengan analogi ini, maka hubungan politik-birokrasi seperti dua sisi mata uang, yang tidak bisa dipisahkan (unseparated) tetapi berdiri sendiri (integrated).
Pasca era rejecting paradigma dikotomi politik dan administrasi, beberapa para pakar administrasi publik salah satunya Nigro & Nigro (1980) menjelaskan fakta pejabat publik ‘bertunangan’ (engaged) dalam politik. Seperti halnya dalam pelaksanaan kekuasaan diskresi, pembuatan pilihan nilai merupakan karakteristik dan penambahan fungsi bagi administrator pada birokrasi. Sehingga itulah, alasan penting untuk berkerjasama dalam politik. Banyaknya partisipasi dalam perumusan kebijakan publik yang sarat dengan tindakan politik diasumsikan sebagai ruang lingkup aktivitas politik secara luas.
Tidak dipungkiri dalam prakteknya di Indonesia, era reformasi merubah pola interaksi kekuasaan dimana dominasi eksekutif rezim Orde Baru selama 32 tahun terhenti dengan menguatnya lembaga legislatif dan ruang perlawanan publik, seperti demonstrasi warga atau buruh, menguatnya kekuatan civil society yang berbasis organisasi masyarakat atau komunitas tertentu.
Seiring dinamika reformasi yang telah bergulir sejak 25 tahun lamanya dan hiruk-pikukpraktek perpolitikan yang mewarnai kuatnya peran legislatif yang terpolarisasi kepada kepentingan pragmatis dan bukan polarisasi ideologis, serta aktor legislator yang terbatasi dengan otoritas yang dimilikinya, tentunya mencari jalan untuk mempertahankan dan mengembangkan kekuatan dengan menggandeng birokrasi. Karena biroksasi merupakan institusi yang menjadi personifikasi negara dalam melaksanakan kebijakan publik dengan makna lain memiliki aspek politik birokrasi.
Dari fakta tersebut di atas, maka muncul pertanyaan, manakah yang lebih dominan politik mempengaruhi kinerja birokrasi atau birokrasi yang mempengaruhi politik dalam membuat kebijakan. Dan dapatkah birokrasi memposisikan dirinya netral dalam politik.
Artikel ini sekilas akan menyoal, apakah birokrasi bisa berselancar diantara politik dan netralitas. Apakah birokrasi bisa menghindari keganasan ‘ombak politik’ dan tetap aman berselancar di laut lepas (menjaga netralitas). Atau sebaliknya, tergulung ke dalam ganasnya ‘ombak politik’ dan terbawa oleh arus laut yang ganas (terlibat politik praktis).