Persepsi

Ketakutan akan Sunyinya Perlawanan

×

Ketakutan akan Sunyinya Perlawanan

Sebarkan artikel ini
Ketakutan akan Sunyinya Perlawanan
Ilustrasi. (HukumOnline)

Oleh: Sandyakala, Mahasiswa UNG
Berita Terkait:  'Matahari' Bersinar Hingga 2024

KINI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang pada Kamis, 20 Maret 2025. Perubahan ini menambah dua tugas baru dalam operasi militer selain perang (OMSP), sehingga totalnya menjadi 16 tugas.

Dua tugas tambahan tersebut adalah, pertakmma, membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber, dan kedua, membantu dalam melindungi serta menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri. Penambahan ini disebut sebagai respons atas tantangan keamanan modern yang kian kompleks.

Berita Terkait:  Bahan Bakar Nira Aren untuk Tradisi Tumbilotohe

Namun, revisi UU TNI ini mengundang penolakan dari berbagai kalangan masyarakat sipil dan akademisi. Kekhawatiran utama muncul dari potensi militerisasi ruang siber—sebuah ruang yang seharusnya tetap menjadi milik sipil dan dijaga dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Lebih jauh, proses pembahasan revisi undang-undang ini berlangsung tanpa partisipasi publik yang memadai, tertutup rapat di sebuah hotel mewah, jauh dari ruang-ruang demokrasi yang seharusnya menjadi pijakan.

Berita Terkait:  Bagaimana Melacak Calon Pelaku Bunuh Diri ?

Narasi ancaman perang siber digulirkan, namun ketergesaan dan ketersembunyian justru meninggalkan ruang kosong yang menumbuhkan ketidakpercayaan. Suara-suara kritis berhamburan di jalanan, salah satunya demonstran yang menembus pengamanan rapat tertutup di hotel tersebut, sebelum akhirnya didorong mundur oleh aparat keamanan.

Tak berhenti di sana, gelombang tekanan terhadap kebebasan berbicara juga menghantam media.
Berita Terkait:  Anak yang Emosi dan Memiliki Sifat Sensitif Pada Anak Usia Dini

Pada 19 Maret 2025, kantor redaksi Tempo menerima paket berisi kepala babi tanpa telinga, dikirim kepada wartawan Francisca Christy Rosana. Tiga hari berselang, kiriman lain berupa bangkai tikus yang dipenggal kembali tiba.

Teror ini memantik kecaman dari Komnas HAM, Dewan Pers, dan berbagai organisasi masyarakat sipil, menggarisbawahi betapa rentannya kebebasan pers dalam iklim politik yang kian membungkam.

Berita Terkait:  Jejak Dokter Dalam Sejarah Berdirinya Kementerian Agama

Di hadapan fakta ini, saya merenung: adakah yang lebih menyesakkan selain hidup di tengah bangsa yang melupakan bahwa kritik adalah napas demokrasi? Ataukah, kita justru sedang menyaksikan bagaimana bangsa ini perlahan dicekik oleh tangannya sendiri? Dan, atau kita memang tidak pernah hidup dalam negara yang katanya demokrasi itu? Dalam latar semacam inilah tulisan ini beranjak—sebuah keprihatinan yang lahir bukan dari keberanian besar, melainkan dari ketakutan yang lebih besar lagi: ketakutan akan sunyinya perlawanan. Sebab suara-suara yang menyerukan keadilan dan perubahan justru dianggap ancaman yang harus dibungkam.

Kebebasan Selektif dalam Rezim Demokrasi
Berita Terkait:  Anak yang Dapat Menerima Pembelajaran dengan Baik dari Gurunya

Secara doktrinal, demokrasi kapitalistik yang dianut oleh negeri ini menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, termasuk di dalamnya kebebasan berekspresi dan menyampaikan kritik.

Negara, dalam hal ini, semestinya menjadi pelindung utama atas hak-hak tersebut agar dapat dinikmati oleh seluruh warga tanpa kecuali. Akan tetapi, realitas berkata lain. Kebebasan ini ternyata bersifat selektif, hanya ramah bagi mereka yang sepemikiran dengan kekuasaan.

Berita Terkait:  Dari Parkir ke Pembangunan: Peran dan Eksistensi Retribusi Parkir di Kota Gorontalo

Hal ini senada dengan apa yang dimaksud Wolin dalam Democracy Incorporated: Managed Democracy and the Specter of Inverted Totalitarianism, ia menyebutkan “Negara tampak demokratis secara prosedural, namun dalam praktiknya kekuasaan telah dikuasai oleh elite yang tidak bisa disentuh kritik.

Bagi kelompok yang berbeda pandangan, apalagi yang terang-terangan menyuarakan kritik terhadap kebijakan negara, ruang berekspresi kerap ditutup rapat. Terlebih jika yang diangkat adalah ideologi Islam, maka stigmatisasi langsung dilayangkan: mulai dari label radikal, intoleran, hingga dianggap sebagai ancaman terhadap keutuhan negara.

Berita Terkait:  Karlota: Medium Penyebab Bunuh Diri

Padahal sejatinya, dakwah Islam bertujuan menegakkan nilai kebenaran dan mengajak pada kebaikan. Sayangnya, instrumen hukum seperti UU Ormas sering kali dijadikan alat pembungkam.

Dalam sistem demokrasi, pemimpin yang siap menerima kritik secara terbuka seolah menjadi makhluk langka. Alih-alih memaknai kritik sebagai cermin untuk memperbaiki diri, mereka justru menanggapinya dengan arogansi dan tindakan represif.

Berita Terkait:  Kasus Pada Anak yang Temper Tantrum dan Tidak Fokus Saat Pembelajaran

Kritik dianggap subversif, bahkan tidak jarang dituduh sebagai hasil hasutan kekuatan asing. Sangat berbeda dengan sosok Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang dengan rendah hati mengakui kesalahannya di hadapan seorang muslimah: “Wanita itu benar dan Umar salah. Ya Allah, ampunilah aku. Setiap orang lebih cerdas dari Umar.”

Inilah potret kemunafikan dalam demokrasi. Demokrasi ternyata memiliki mekanisme pertahanan yang ganas: selama kekuasaan masih bisa dipertahankan, segala cara akan dilegalkan—baik yang berselubung aturan maupun yang terang-terangan menindas. Bila pendekatan lunak gagal, maka cara-cara represif siap digunakan.

Berita Terkait:  Fadel Muhammad, Nomaden dan Klub Sepakbola Monza

Revisi terhadap UU TNI yang memperluas mandat TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) ibarat menambah lapis pengamanan bagi kekuasaan yang antikritik. Alih-alih menjadi pelindung rakyat, TNI bisa saja diposisikan sebagai pengawas dan bahkan penindas kebebasan sipil.

Bila ini dibiarkan, maka tahta kekuasaan zalim akan semakin kokoh tak tergoyahkan, sementara harapan akan kehidupan bernegara yang damai, adil, dan sejahtera makin menjauh dari kenyataan.

Berita Terkait:  Anak yang Dapat Menerima Pembelajaran dengan Baik dari Gurunya

Sebagai Alat Menjinakkan Kritik

Realitas ini tidak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih luas, yakni krisis kepercayaan publik terhadap institusi-institusi negara.

Berita Terkait:  Kasus Pada Anak yang Temper Tantrum dan Tidak Fokus Saat Pembelajaran

Ketika korupsi mengakar, ketimpangan sosial melebar, dan oligarki terus mengokohkan dominasinya, penguasa justru memilih memperluas kontrol daripada memperbaiki substansi keadilan sosial.

Dalam atmosfer seperti inilah, revisi UU TNI hadir—bukan sebagai alat perlindungan rakyat, melainkan sebagai instrumen baru untuk memperketat pengawasan dan menekan kebebasan.

Berita Terkait:  Bagaimana Melacak Calon Pelaku Bunuh Diri ?

Selain itu, revisi undang-undang ini dianggap bertabrakan dengan Undang-Undang ITE, menimbulkan keruwetan hukum yang berisiko dalam tata kelola dunia digital.

Kewenangan yang diberikan kepada TNI di sektor siber sangat mungkin disalahgunakan untuk menekan oposisi, memperkuat dominasi penguasa, serta membungkam suara-suara kritis, termasuk dari kalangan umat Islam.

Berita Terkait:  Karlota: Medium Penyebab Bunuh Diri

Inilah bentuk nyata kemunafikan dalam sistem kapitalisme yang mengklaim membela kebebasan, padahal kenyataannya hanya melindungi narasi yang mendukung kekuasaan, sedangkan seruan keadilan dan perubahan ditekan dengan dalih menjaga stabilitas nasional.

Islam dan Peran Media dalam Menjaga Keadilan
Berita Terkait:  Anak yang Emosi dan Memiliki Sifat Sensitif Pada Anak Usia Dini

Berbeda dengan negara yang menerapkan syari’at Islam secara keseluruhan, dalam tatanan masyarakat yang menjadikan syariat sebagai landasan utama kehidupan bernegara, media memiliki peran strategis sebagai penyambung aspirasi umat sekaligus pengawal moral penguasa.

Media difungsikan untuk menyebarkan kebenaran, menghidupkan semangat amar makruf nahi mungkar,

Berita Terkait:  Dari Parkir ke Pembangunan: Peran dan Eksistensi Retribusi Parkir di Kota Gorontalo

serta menjadi penjaga keadilan sosial yang berorientasi pada nilai-nilai Islam.

Dalam sistem seperti ini, ruang kritis tidak hanya dijamin,

melainkan juga dipandang sebagai bagian integral dari tanggung jawab kolektif umat untuk saling menasihati dalam kebenaran.

Berita Terkait:  'Matahari' Bersinar Hingga 2024

Pers memiliki legitimasi syar’i untuk mengoreksi kebijakan yang menyimpang, mengungkap ketidakadilan,

dan mendorong perbaikan berdasarkan prinsip keadilan ilahiah,

Berita Terkait:  Jejak Dokter Dalam Sejarah Berdirinya Kementerian Agama

tanpa takut dibungkam atas nama stabilitas atau keamanan semu.

Dalam Islam, penyampaian kritik, mengoreksi kesalahan, dan memberikan nasihat bukan hanya boleh, justru diwajibkan. Allah Taala memosisikan aktivitas menyampaikan kritik ini sebagai syarat agar tidak termasuk golongan yang merugi,

Berita Terkait:  Fadel Muhammad, Nomaden dan Klub Sepakbola Monza

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (QS AI -Ashr [103]: 1-3).

Hal ini sangat berbeda dengan sistem sekuler yang menjadikan kebebasan pers sebagai slogan kosong:
Berita Terkait:  Bahan Bakar Nira Aren untuk Tradisi Tumbilotohe

di satu sisi mengagungkan kebebasan berpendapat,

namun di sisi lain memberangus suara-suara kritis yang mengancam kepentingan oligarki kekuasaan.

Berita Terkait:  Anak yang Dapat Menerima Pembelajaran dengan Baik dari Gurunya

Di dalam paradigma sekuler-kapitalistik,

media yang seharusnya menjadi corong kebenaran kerap berubah menjadi alat propaganda demi melanggengkan hegemoni segelintir elit,

Berita Terkait:  Karlota: Medium Penyebab Bunuh Diri

sementara keberanian untuk menyuarakan keadilan justru dihukum dengan stempel makar, radikalisme,

atau bahkan kriminalisasi.

Berita Terkait:  Bahan Bakar Nira Aren untuk Tradisi Tumbilotohe

Rakyat dalam sistem yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Islam memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan keluhan mereka secara terbuka,

melalui saluran yang difasilitasi oleh negara yaitu majlis umat.

Berita Terkait:  Dari Parkir ke Pembangunan: Peran dan Eksistensi Retribusi Parkir di Kota Gorontalo

Salah satu lembaga penting dalam sistem ini adalah forum yang memberikan kesempatan bagi rakyat untuk mengemukakan aspirasi serta memberi nasihat kepada penguasa tentang kebijakan pemerintahan.

Meskipun lembaga ini tidak terlibat dalam pembuatan kebijakan secara langsung, fungsinya dalam mengoreksi kebijakan,

Berita Terkait:  Kasus Pada Anak yang Temper Tantrum dan Tidak Fokus Saat Pembelajaran

mengawasi jalannya pemerintahan, dan memberikan masukan konstruktif sangat penting.

Islam sangat mendorong pelaksanaan muhasabah pada para penguasa dan menyebutnya sebagai jihad yang paling utama. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah saw.,

Berita Terkait:  Anak yang Emosi dan Memiliki Sifat Sensitif Pada Anak Usia Dini

“Jihad yang paling penting adalah mengatakan kebenaran (mengatakan hal-hal baik) di hadapan penguasa yang lalim.” (HR Abu Dawud).

Ini adalah contoh nyata bagaimana kontrol terhadap penguasa dilakukan dengan prinsip yang berlandaskan pada ajaran Islam,
Berita Terkait:  Bagaimana Melacak Calon Pelaku Bunuh Diri ?

di mana pemimpin diharapkan bersedia menerima kritik demi menjaga kebenaran dan keadilan.

Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh khalifah Umar bin Khattab:

Berita Terkait:  Fadel Muhammad, Nomaden dan Klub Sepakbola Monza

“Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan yang benar, luruskan aku walaupun dengan pedang.”

Maka, membungkam kritik jelas bertentangan dengan nilai-nilai kepemimpinan yang adil dan penuh tanggung jawab.

Berita Terkait:  'Matahari' Bersinar Hingga 2024

Dengan demikian, kebutuhan umat akan tatanan yang adil, di mana media berfungsi murni untuk menyuarakan kebenaran,

hanya dapat terwujud apabila nilai-nilai luhur syariat Islam benar-benar dijadikan asas dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Berita Terkait:  Jejak Dokter Dalam Sejarah Berdirinya Kementerian Agama