Persepsi

Negeri Kaya yang Tak Memberi Kerja

×

Negeri Kaya yang Tak Memberi Kerja

Sebarkan artikel ini
Negeri Kaya yang Tak Memberi Kerja
Ilustrasi. (Foto: Radar Bojonegoro)

Oleh: Sandyakala
Mahasiswa UNG

Berita Terkait:  Perilaku Anak yang Dipengaruhi oleh Kekerasan Dalam Keluarga di Lingkungan Sekolah PAUD

“Pagi itu, Dimas kembali membawa map lamaran kerja yang sudah lusuh. Bukan karena tak niat, tapi karena terlalu sering ditolak. Seperti jutaan pemuda lainnya, ia bukan tak punya semangat—ia hanya hidup di negeri yang tak menyediakan ruang untuk semangat itu tumbuh.”

hari keluarga nasional

Andai ini sebuah novel, mungkin itulah prolog paling jujur tentang realitas Indonesia hari ini. Betapa kesabaran sangat di uji di negeri ini. Bagaimana tidak? Tinggal di negeri yang katanya kaya sumber daya namun justru kehilangan daya untuk bertahan.

Berita Terkait:  Anak yang Emosi dan Memiliki Sifat Sensitif Pada Anak Usia Dini

Hal ini bukan sekadar keluhan subjektif penulis. Data membenarkannya. Mengutip Kompas.com (30/4/25), IMF melaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat pertama dalam tingkat pengangguran tertinggi se-ASEAN—sebuah prestasi kelam yang tak bisa disangkal.

Mirisnya lagi terdapat di tubuh berita bahwa, IMF mendata tingkat pengangguran (unemployment rate) berdasarkan persentase angkatan kerja atau penduduk berusia 15 tahun ke atas yang sedang mencari pekerjaan. Persentase itu tak termasuk angkatan kerja yang tidak mencari kerja seperti mahasiswa, ibu rumah tangga, dan orang tidak mencari kerja tidak masuk ke dalam data tersebut.

Berita Terkait:  Halalbihalal dan Kesehatan Otak

Bayangkan jika seluruh kelompok yang tak tercakup—mahasiswa, ibu rumah tangga, hingga mereka yang menyerah mencari kerja—ikut dimasukkan dalam perhitungan. Angkanya mungkin jauh lebih mengerikan dari yang sudah tercatat.

IMF memperkirakan angka pengangguran akan terus naik dalam beberapa tahun mendatang, seiring memanasnya perang dagang global. Artinya, badai belum selesai, tapi fondasi rumah sudah retak dari dalam.
Berita Terkait:  12 Jam Terjang Hutan TNBNW untuk Pesta Demokrasi di Pinogu

Setiap hari, dari layar ponsel hingga layar televisi, gelombang pemberitaan soal PHK massal terus bermunculan—dan bukan hanya dari perusahaan kecil, tapi juga raksasa-raksasa industri yang selama ini dianggap tahan krisis. Namun ironisnya, di tengah badai pemutusan hubungan kerja yang tak kunjung reda dan kecemasan publik yang makin menguat, para pemangku kebijakan justru menanggapinya dengan wajah tenang dan narasi optimistis.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, misalnya, tetap memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5% pada 2025. Presiden pun menegaskan bahwa ekonomi nasional kuat secara fundamental dan sanggup menghadapi guncangan global.

Berita Terkait:  'Matahari' Bersinar Hingga 2024

Optimisme tentu bukan hal yang salah—ia dibutuhkan untuk menjaga semangat kolektif dan menghindari kepanikan. Namun optimisme yang tak disertai bukti nyata di lapangan, justru berubah menjadi pengabaian. Sebab retaknya daya beli, sepinya pasar kerja, dan mandeknya mobilitas sosial bukan sekadar persepsi; itu realitas yang dialami jutaan rakyat setiap hari.

Berbagai program yang diluncurkan pemerintah seolah hadir sebagai jawaban atas keresahan publik, namun ketika ditelaah lebih jauh, tak satu pun yang betul-betul menjawab akar masalah.

Berita Terkait:  Karlota: Medium Penyebab Bunuh Diri

Narasi pertumbuhan tidak akan berarti banyak jika yang tumbuh hanya grafik, bukan kesejahteraan. Maka, sebelum meminta rakyat untuk bersabar dan tetap percaya, negara seharusnya lebih dulu menghadirkan bukti bahwa mereka benar-benar bekerja untuk rakyat—bukan sekadar berbicara dan menyuarakan klaim yang dibuat-buat.

Dari janji manis Bank Emas yang digadang-gadang mampu menyerap tenaga kerja namun nyatanya tak lebih dari jargon kosong,

Berita Terkait:  Fenomena Bunuh Diri Dalam Tinjauan Neurologi

hingga Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diklaim akan menciptakan lapangan pekerjaan tapi tak pernah menunjukkan geliat nyata—semuanya terasa seperti mimpi yang hanya hidup di panggung konferensi pers.