Oleh: Dr. dr. Muhammad Isman Jusuf, Sp.N, FISQUa
Kepala Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran UNG Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Neurologi Indonesia
SETIAP bulan syawal umat Islam di Indonesia termasuk di Gorontalo melakasanakan tradisi Halal Bi Halal. Halal bi halal memang terdengar seperti berasal dari bahasa Arab. Namun, Halal bi halal sebenarnya bukan berasal dari Arab, melainkan merupakan tradisi yang dibuat di Indonesia. Kata Halal bi halal bahkan sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Dalam KBBI, Halal bi halal berarti hal maaf memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Halal bi halal juga diartikan sebagai bentuk silaturahmi.
Praktek Halal Bi Halal pertama kali dilakasanakan di Indonesia pada tahun 1948. Saat itu Indonesia mengalami ketidakstabilan politik akibat berbagai pemberontakan di daerah, termasuk dari kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tengah situasi ini, Presiden Soekarno meminta nasihat dari KH Wahab Chasbullah untuk mencari solusi guna menyatukan para pemimpin bangsa yang saat itu saling berseteru.
KH Wahab menyarankan agar diadakan pertemuan silaturahmi, di mana para tokoh politik bisa berkumpul dalam suasana penuh kedamaian dan saling memaafkan. Namun, untuk menghindari kesan pertemuan politik formal, ia memilih istilah “halal bihalal” sebagai nama kegiatan tersebut. Istilah ini dianggap lebih menarik dan dapat diterima oleh semua kalangan.
Atas saran tersebut, Presiden Soekarno mengundang para pemimpin politik ke Istana Negara pada Idul Fitri 1948 untuk menghadiri halal bihalal. Acara ini berhasil mencairkan ketegangan politik dan mengembalikan semangat persatuan bangsa. Sejak saat itu, halal bihalal menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia setiap perayaan Idul Fitri.
Penelitian yang dilakukan Khasanah dan Wawuan (2023) menunjukkan bahwa praktek Halal Bi Halal memiliki potensi sebagai alat efektif dalam mengatasi polarisasi politik melalui pertemuan, dialog, dan saling memaafkan. Polarisasi politik disebabkan oleh perbedaan ideologi, sosial-ekonomi, media sosial, dan retorika politik yang keras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik Halal Bi Halal dapat membangun lingkungan politik yang harmonis, inklusif, dan stabil. Dalam hal ini, integrasi praktik ini secara menyeluruh, partisipasi aktif politisi dan masyarakat, dukungan media, serta evaluasi terus-menerus menjadi faktor penting.
Implementasi praktik Halal Bi Halal dapat memberikan kontribusi signifikan dalam mengatasi polarisasi politik dan mencapai rekonsiliasi politik yang berkelanjutan. Dalam tinjauan neurologi sprirual, halal bi halal memiliki 2 aktivitas utama yaitu maaf memaafkan dan silaturahmi. Kedua aktifitas tersebut, memiliki dampak terhadap kesehatan orak ditinjau dari aspek fisik, mental dan sosial.
Aktifitas Maaf Memaafkan dan Kesehatan Otak
Islam menganjurkan ummatnya untuk mempunyai perilaku pemaaf. Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh” (QS.Al A’raf:199). Di ayat lain Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS An Nur: 22). Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda: Barangsiapa memaafkan ketika ia mampu membalas, maka Allah akan memberinya pahala besar pada hari kiamat” (H.R. Baihaqi).
Terkait ini ada 2 istilah yaitu memberi maaf dan meminta maaf. Memberi maaf bukanlah menunjukkan seseorang itu lemah atau tidak mampu membalas. Memberi maaf justru menunjukkan sifat keutamaan dan kemuliaan seorang manusia karena ia belajar dari sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Adapun meminta maaf hanya bisa dilakukan oleh manusia yang luar biasa, yang mampu melawan gravitasi bumi dengan memperkuat gravitasi langit dan yang telah menjadikan cinta sebagai cara pikir dan cara hidupnya. Kemanusiaan dan peradaban hanya bisa dibangun kalau manusia mau merendahkan diri dan meminta maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan.
Ditinjau dari aspek fisik, maaf memaafkan dapat mengaktifkan sistem saraf parasimpatis yang akan membuat jantung pernafasan dan pencernaan menjadi lebih rileks, santai dan tenang. Sementara marah dan kebencian mengaktifkan sistem saraf simpatis yang bila berkelanjutan dapat membuat jantung berdetak lebih kencang, nafas cepat dan pencernaan terganggu. Hal ini dapat mengganggu kesehatan fisik dan mental. Tapi dengan memaafkan dapat terjadi keseimbangan antara sistem saraf simpatis dan parasimpatis.
Penelitian oleh Lawler et al. (2005) dalam Journal of Behavioral Medicine menemukan bahwa individu yang mampu memaafkan memiliki tekanan darah yang lebih rendah dan kadar kortisol yang lebih stabil. Penelitian oleh Toussaint et al. (2012) dalam Journal of Health Psychology menemukan bahwa orang yang memaafkan memiliki risiko lebih rendah terhadap penyakit kardiovaskular dan gangguan tekanan darah, yang merupakan dampak dari penurunan stres kronis.
Ditinjau secara mental, maaf memaafkan memampukan kita mengontrol stres dengan lebih baik. Memendam perasaan marah, kesal, sedih, benci dan agresif dapat membuat tubuh terus menerus mengeluarkan kortisol yaitu hormon stres yang membuat kondisi kesehatan fisik dan jiwa menjadi terganggu. Memaafkan membuat proses ruminasi (mengingat sesuatu yg negatif berulang ulang) menjadi berkurang.
Pikiran dan perasaan negatif yang muncul berulang ulang saat kita belum memaafkan suatu peristiwa dapat menimbulkan trauma yang lebih dalam, berefek toksik dan dapat berujung pada gangguan cemas, depresi dan gangguan jiwa lainnya. Dengan memaafkan proses ruminasi itu akan berhenti dan kesehatan jiwa dapat terjaga lebih baik.
Penelitian oleh Worthington et al. (2007) dalam Journal of Counseling & Development menemukan bahwa orang yang lebih mampu memaafkan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik, dengan gejala depresi dan kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang sulit memaafkan. Penelitian modern menunjukkan bahwa orang yang memaafkan tanpa mengharapkan balasan duniawi cenderung memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan kesejahteraan yang lebih baik secara keseluruhan (Schumann & Orehek, 2017).
Didapatkan sejumlah penelitian yang menunjukkan dampak maaf memaafkan terhadap kesehatan sosial seseorang. Penelitian Schumann dan Orehek (2017) dalam Personality and Social Psychology Review menyatakan bahwa tindakan memaafkan membantu individu untuk membangun hubungan yang lebih harmonis dan memperkuat empati, nilai-nilai yang juga tercermin dalam ajaran Islam. Penelitian dalam Journal of Personality and Social Psychology oleh McCullough et al. (2014) menunjukkan bahwa tindakan memaafkan dapat meningkatkan hubungan interpersonal dan memperbaiki komunikasi antara individu yang mengalami konflik.
Penelitian oleh Ricciardi et al. (2013) dalam Journal of Cognitive Neuroscience menunjukkan bahwa memaafkan tidak hanya mengurangi konflik, tetapi juga meningkatkan empati dan pemahaman antarindividu, yang pada akhirnya memperbaiki hubungan sosial.
Aktifitas Silaturahmi dan Kesehatan Otak
Islam mengajarkan ummatnya untuk membangun silaturahmi. Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman: “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisa: 1).
Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahmi.” (HR. Bukhari – Muslim). Bahkan di hadits lain Rasul bersabda: “Tidak akan masuk surga pemutus tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Terkait ini ada dua istilah yang digunakan di masyarakat yaitu Silaturahim dan Silaturahmi.
Terminologi Silaturahim lebih dekat dengan makna aslinya dalam bahasa Arab, yaitu menyambung hubungan kekerabatan atau keluarga. Sedangkan kata Silaturahmi mengalami perluasan makna menjadi menyambung tali kasih sayang secara umum, tidak terbatas pada hubungan keluarga saja.
Ditinjau dari aspek fisik, silaturahmi berdampak pada kesehatan otak seseorang. Dari penelitian yang dilakukan sekelompok peneliti dari University of Michigan AS, dipaparkan, kegiatan silaturahmi yang meliputi berbicara, berdiskusi, dan semua aktivitas interaksi sosial akan membuat otak makin terasah dan berkembang.
Kemampuan sel otak berkembang dengan adanya rangsangan dari lingkungan yang meliputi interaksi sosial ini dikenal sebagai proses plastisitas otak (neuroplastisitas).
Makin banyak rangsangan positif dari lingkungan dalam bentuk interaksi sosial yang meliputi rasa empati, saling memaafkan,
serta komunikasi dalam bentuk diskusi yang saling mendukung, maka proses-poses kimia dalam otak yang terlibat dalam mekanisme plastisitas otak akan makin membentuk otak ke arah yang lebih baik.
Selain menimbulkan rangsangan positif terhadap otak, dalam rangkaian silaturahmi pun seperti situasi berjumpa dengan kawan/kerabat yang sudah lama tidak bertemu, bertegur sapa dan saling bertukar cerita, bahkan saling memaafkan, tentu akan menimbulkan rasa bahagia.
Dari hasil penelitian para peneliti dari University of California. Los Angeles, yang dipaparkan dalam jurnal Nature Communications, disebutkan,
pada saat seesorang bahagia, maka pada otaknya akan ditemui zat kimia hypocretin yang bekerja hampir sama dengan hormon dopamin. Zat kimia ini bertanggungjawab dalam memunculkan rasa senang dan bahagia.
Kadar hypocretin akan meningkat bersamaan dengan meningkatnya emosi positif dalam interaksi sosial. Makin banyak emosi positif yang lahir dalam suasana silaturahmi, maka imunitas tubuhpun akan makin meningkat.
Hal ini seperti dalam penelitian psiko-neuroimunologi (PNI), cabang ilmu yang mengekplorasi hubungan otak, tubuh dan sistem imun yang dipaparkan dalam jurnal of Medicine. Jika kondisi otak bahagia, merasa santai dan rileks seperti saat berbincang-bincang dalam aktivitas silaturahmi.
Tubuh pun akan memproduksi hormon seretonin, dopamin, relaksin, atau oksitosin. Ketika hormon-hormon ini masuk ke dalam aliran darah, mereka akan mengirimkan sinyal agar tubuh menciptakan lebih banyak sel imun
Sejumlah penelitian juga menunjukkan dampak silaturahmi terhadap kesehatan otak ditinjau secara mental. Menurut penelitian oleh Putnam (2000) dalam bukunya Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community, komunitas yang memiliki tingkat keterhubungan sosial yang tinggi cenderung lebih sehat secara mental dan memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan komunitas yang kurang memiliki interaksi sosial.
Menurut penelitian oleh Young (2007) dalam Annual Review of Psychology,
serotonin berkontribusi dalam mengurangi depresi dan meningkatkan stabilitas emosi,
sementara dopamin memberikan efek perasaan senang dan motivasi.
Oleh karena itu, berkumpul dengan orang-orang terkasih selama Idul Fitri membantu memperbaiki suasana hati dan meningkatkan kesehatan mental secara keseluruhan.
Penelitian oleh McEwen (2007) dalam jurnal Annual Review of Neuroscience menunjukkan bahwa dukungan sosial yang kuat berhubungan dengan
kadar kortisol yang lebih rendah, yang berarti seseorang akan merasa lebih tenang dan rileks saat dikelilingi oleh keluarga dan sahabat.
Studi yang dilakukan oleh Insel dan Young (2001) dalam jurnal Science menunjukkan bahwa bagian otak seperti amigdala dan korteks prefrontal berperan dalam membentuk hubungan sosial yang erat dan memberikan perasaan nyaman saat berinteraksi dengan orang lain.
Oleh karena itu, momen silaturahmi saat Idul Fitri berkontribusi dalam memperkuat kesehatan otak dan fungsi sosial seseorang.
Ditinjau dari aspek kesehatan soasial. silaturahmi juga berperan dalam meningkatkan empati dan kepekaan sosial. Saat seseorang bertemu dengan keluarga dan teman, mereka berbagi cerita, pengalaman, serta dukungan emosional.
Hal ini dapat meningkatkan kapasitas empati dan kepedulian terhadap orang lain,
yang pada akhirnya berkontribusi dalam menciptakan hubungan sosial yang lebih bermakna dan positif.
Menurut Eisenberg dan Miller (2004) dalam Annual Review of Psychology, individu yang memiliki tingkat empati yang tinggi cenderung lebih bahagia dan memiliki hubungan interpersonal yang lebih baik.
Dalam dunia modern, ketika interaksi sosial semakin banyak dilakukan secara virtual,
momen Idul Fitri menjadi pengingat akan pentingnya koneksi langsung dengan orang lain.
Meskipun teknologi memungkinkan komunikasi jarak jauh, interaksi tatap muka tetap memiliki dampak psikologis yang lebih besar.
Turkle (2015) dalam bukunya Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age,
menyebutkan percakapan langsung memberikan dimensi emosional yang lebih mendalam dibandingkan dengan komunikasi digital,
yang membantu dalam membangun hubungan yang lebih kuat dan bermakna
Penutup
Bulan Syawal merupakan salah satu momentum yang paling baik untuk melakukan peningkatan kesehatan otak seseorang melalui aktifitas halal bihalal.
Dalam perspektif Neuro-Spiritual, melalui halal bihalal ini kesehatan otak setiap individu baik fisik,
mental dan sosial dapat lebih disempurnakan lagi dengan aktifitas silaturahmi dan saling memaafkan.
Semoga tradisi ini menjadi salah satu modalitas terapi dalam bidang neurologi bukan hanya skala lokal di Indonesia,
namun bisa diadaptasikan dalam skala gobal.