Persepsi

Globalisasi dan Budaya Pop: Fenomena Trio Barbie

×

Globalisasi dan Budaya Pop: Fenomena Trio Barbie

Sebarkan artikel ini
Globalisasi dan Budaya Pop_ Fenomena Trio Barbie
Samsi Pomalingo

Oleh:
Samsi Pomalingo
Tenaga Pengajar di Universitas Negeri Gorontalo

Berita Terkait:  'Matahari' Bersinar Hingga 2024

badan keuangan

Tulisan menarik yang berjudul “Tri Barbie, Lalu Bagaimana” yang dimuat dalam MimozaTV, ditulis oleh seorang sosiolog ternama di Gorontalo berasal dari Universitas Negeri Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, M.A.

Tulisan ini menarik karena dari sekian banyak intelektual Gorontalo tak satu pun merespon fenomena Tri Barbie yang akhir-akhir ini mendapat sorotan dari berbagai pihak. Ada kelompok masyarakat yang pro dan ada pula yang kontrak karena melihat “performance” Trio Barbie dianggap meresahkan.

Berita Terkait:  Cegah Perilaku Bunuh Diri dengan Kecerdasan Emosional 

badan keuangan

Pertanyaannya, apa benar meresahkan?

Dianggap meresahkan karena dinilai “offer confident” dalam penampilan yang dianggap tidak etis. Nah tulisan ini bukan sebagai respon atas tulisan Dr. Funco Tanipu, melainkan sebagai keterpanggilan untuk melihat fenomena Trio Barbie dalam kajian studi budaya (cultural studie).

Penulis tidak ingin terjebak dalam perspektif “hita-putih”, atau karena Gorontalo sebagai “Serambi Madinah” (yang tidak jelas indikator dan akar historisitasnya). Apalagi sampai menghakimi Trio Barbie dengan labelisasi negatif, tapi seharusnya bagaimana kita bersikap secara arif dan bijaksana melihat dan membaca fenomena tersebut.

Berita Terkait:  Fadel Muhammad, Nomaden dan Klub Sepakbola Monza

Example 300250

Fenomena Trio Berbie: Pendekatan Cultural Stuides

Fenomena Trio Barbie sebagai bagian dari Pop Culture atau budaya pop yang lahir dari globalisasi. Keberdaannya sama dengan Jappanesse Pop (J-POP), J-Rock, J-Hip Hop, K-POP, Hallyu atau Korean Wave dan kelompok musiknya lainnya yang berasal dari Jepang dan Korea.

Walupun tidak sekelas musik pop dari Jepang dan Korea, namun Trio Barbie lahir sebagai respon terhadap warna musik di Gorontalo (Glokalisasi). Mungkin saja keberadaan Trio Berbie sama dengan J-Pop dan K-Pop yang secara tegas menolak globalisasi-Amerikanisasi, ini hanyasekedarasumsi. Bisa saja salah.

Berita Terkait:  Politik Kekerabatan

Globalisasi telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Hampir setiap negara di dunia saat ini pernah mengalami globalisasi. Korea Selatan, Amerika, Taiwan dan Jepang menjadi negara di dunia yang dapat memanfaatkan peluang dan peluang tersebut untuk memperkenalkan budayanya melalui globalisasi dan kemajuan teknologi.

Globalisasi juga tidak muncul secara tiba-tiba pada akhir abad ke-20,sebagai ancaman terhadap keragaman budaya yang disebabkan oleh kekuatan hegemoni modernitas yang didorong oleh pasar. Tekanan globalisasi selalu menghantui kita. Tidak mengherankan jika tidak adahal baru di bawah matahari. Globalisasi telah terjadi sebelumnya. Misalnya saja Anak benua India telah menjadi penerima dan pemberi pengaruh internasional jauh sebelum Internet dan bursa saham mengikat kita semua dalam sebuah sistem intelektual, mungkin “pseudo-intelektual”, system ekonomi yang sering kali serakah, bersih atau bertautan.

Berita Terkait:  Peran Strategis Organisasi Profesi Dalam Transformasi Sistim Kesehatan Indonesia

Gagasan World Wide Web adalah metafora modern untuk keterhubungan yang melekat pada semua makhlu khidup, roda Samsara terus berputar. Tidak mengherankanjika India sudah selangkah lebih maju dalam bidang teknologi informasi dengan simbol-simbolnya yang tidak asing.

Tak heran ada yang demam india (musik dan tariannya), apalagi dengan mega bintangnya Shah Rukh Khan dan Kajol yang menjadi idola para pecinta musik dan tarian india.

Budaya populer melambangkan globalisasi. Homogenisasi dan diversifikasi budaya merupakan hasil globalisasi. Homogenisasi budaya adalah akibat dari imperialisme budaya di mana negara-negara dominan memaksakan keyakinan, nilai-nilai dan perilaku mereka kepada negara lain. Sebaliknya, globalisasi akan membawa budaya yang terdiversifikasi karena menawarkan peluang pertukaran budaya yang dapat membantu meningkatkan toleransi dan keberagaman.

Berita Terkait:  Birokrasi: Antara Politik dan Netralitas

Globalisasi budaya dapat mengakibatkan globalisasi yang dibayar atas kepercayaan, nilai-nilai dan perilaku. Hal ini mencakup hilangnya warisan budaya asli, memori budaya, kedaulatan budaya nasional, dan identitas budaya. Ini yang terjadi pada fenomena Trio Barbie. Tapi harus diingat, Ronghua (2004) percaya bahwa diversifikasi budaya pada akhirnya akan mendorong kemajuan masyarakat secara keseluruhan, sementara Hu (2000) mendalilkan bahwa konservasi warisan budaya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, meningkatkan efektivitas upaya pembangunan dan meningkatkan kualitas hidu pwarga negara dan kewarganegaraan.

Gambaran singkat soal globalisasi dan budaya pop, sangat jelas “mengingatkan” kita akan kehidupan saat ini yang berbeda dengan kehidupan di masa lampau. Globalisasi merupakan gambaran masa depan, dimana oleh Samuel Hantington (1927-2008) menggambarkan sebagai gejala kehidupan yang penuh dengan ketidakteraturan atau clash of civilization. Budaya senantiasa dibentur-benturkan dengan agama, dimana agama dan budaya seringkali diletakan dalam kerangka Vis a Vis. Agama dianggap sebagai instrument absolut dalam melegitimasi benar salah. Seakan kebenaran absolut hanya menjadi milik tunggal agama.

Berita Terkait:  Bagaimana Melacak Calon Pelaku Bunuh Diri ?

Saat ini tak satupun negara atau masyarakat yang bisa menolak kehadiran globalisasi. Globalisasi jangan dilihat sebagai ancaman dalam kehidupan sosial atau agama. Globalisasi lahir sebagai “identitas” darisatumasyarakat modern dengan segala keunikannya.Salah satu keunikan itu ada pada kelompok musik Trio Berbie. Gelombang Korea dan Jepang dalam produksi musik popnya banyak memengaruhi masyarakat Asia terutama Indonesia. Masih ingat goyang gangnam style dari Korea Selatan tahun 2012, yang mampu menghipnotis kebanyakan masyarakat Indonesia.

Trio Berbie dan Resistensi Gaya Hidup

Fenomena Trio Barbie di Gorontalo tidak lepas dari perkembangan musik di tanah air. Mereka tampil dengan identitas yang dinilai sebagai representasi dari trans gender. Terlepas dari pro dan kontra, penampilan mereka sebagai bentuk dari “kebebasan berekspresi” dimana hal itu dilindungi oleh Undang-undang. Walau pun disisi lain dianggap sebagai bentuk penyimpangan (sosial deviation). Tapi disisi lain hal ini dianggap sebagai gayah idup (life style).

Berita Terkait:  346 Tahun Penguasaan Emas Gorontalo

Budaya atau gaya hidup bisa dibilang sebagai resistensi pada sesuatu yang biologis. Misalnya saat orang mulai memikirkan pel bagai varian baru seperti pola seksualnya, atau mungkin menyisipkan hal-hal spiritual disana, kemudian berkecenderungan untuk mengeksplorasi ruang kenikmatan, justru disanalah ia mulai berbudaya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Trio Berbie dengan segala kontroversialnya.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah resistensi masih dimungkinkan di abad keduapuluhsatu saatini, saat gaya hidup manusia sejak dari makan sampai seks ditentukan oleh biro-biro iklan sebagai perpanjangan tangka kekuatan kapital. Masih adakah ruang bagi kita untuk berefleksi dan melakukan resistensi terencana. Sekilah ini sulit untuk dilakukan. Apalagi Ketika ruang dan waktu kita disesaki oleh simulasi media yang melumpuhkan indra pembeda kita. Gaya hidup menyembunyi kanapa yang sesungguhnya berupa akumulasi modal, paling tidak modal budaya dan simbolik.

Berita Terkait:  Fenomena Bunuh Diri Dalam Tinjauan Neurologi

Lagi-lagi kita diperhadapkan dengan pertanyaan kritis tentang sedemikian sempitkah ruang resistensi atas dominasi gaya hidup yang disokong oleh sturuktur kapital. Para intekektual dan teoretikus Brimingham seperti Richard Hoggart dan Stuart Hall memandang dominasi gaya hidup tidak pernah total.

Budaya atau gaya hidup populer bukan ajang “dominasi” melainkan “kontestasi”. Apa yang dilakukan oleh Trio Berbie, dalam perspektif cultural studies (kajian budaya) sebagai bentuk kontestasi dalam produksi musik demi popularitas atas gaya hidup.

Fenomena Trio Berbie dengan performance yang dimilikinya bertujuan untuk membedakan diri, menunjukan sebuah pola konsumsi yang berdasarkan pada perlawanan terhadap arus mainstream. Pola konsumsi inilah yang dikenal dengan sebutan “alternatif”.

Berita Terkait:  Relasi Politik Birokrasi dan Demokrasi

Masyarakat Gorontalo sering disuguhkan dengan pola konsumsi musik yang menoton. Trio Berbie tampil beda dengan penampilan musik lainnya saat hajatan seperti pernikahan atau lainnya. Sangat jelas, apa yang dilakukan Trio Berbie sebagai perlawanan untuk menolak identifikasi yang sifatnya taken for granted pada identitas-identitas lainnya.

Ungkapan “saya ada, maka saya bergaya”, sebagai pemaknaan diri melalui “identitas”. Mano Braco, Madam dan Kikan (Trio Berbie), menemukan identitas sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur kapitalisme global, namun tidak sadar, mereka justru terjerat oleh kaki tangang lobalisasi.

Berita Terkait:  'Matahari' Bersinar Hingga 2024

Lalu, Bagaimana Menyikapinya?

Fenomena Trio Berbie harus dilihat sebagai identitas “pop culture” (budaya pop) yang tengah bersaing (kontestasi dan kompetisi) dengan penyanyi lainnya di Gorontalo. Alasan bahwa Gorontalo sebagai “Serambi Madinah” yang menjadi salah satu variable dari beberapa variable lainnya seperti system nilai yang dimiliki oleh Gorontalo, yang kemudian dijadikan sebagai instrument untuk menjudge (mengadili atau menghukumi) penampilan Tri Berbie bukan sesuatu yang keliru.

Berita Terkait:  Birokrasi: Antara Politik dan Netralitas

Sebab hal itu diyakini sebagai modal sosial yang dijadikan sebagai postulat untuk menjaga keteraturan dalam masyarakat. Namun harus dingat bahwa kita harusbijak dan merata dalam mengadili setiap yang dapat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Menghukumi Trio Berbie dengan kebencian, bullying, kekerasan verbal sebagai bentuk dari kekersan simbolik, juga tidak bisadi terima.

Dalam agama, pesan-pesan seperti ta’murunabilma’ruf watanhauna anil munkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran) merupakan pesan teologis yang harus dipahami secara sistematik. Perintah “ta’murunabilma’ruf” lebih didahulukan ketimbang “tanhauna anil munkar”.

Berita Terkait:  Fenomena Bunuh Diri Dalam Tinjauan Neurologi

Ini mengandung makna bahwa menyeru kebajikan itu harus didahulukan, seperti menasehati atau mengarahkan seseorang untuk melakukan banyak kebajikan. Bukan sebaliknya mencegah kemungkaran dengan cara menghakimi, menghukumi, melakukan tindakan kekerasan (fisik dan verbal).

Agama atau beragama tidak seperti itu. Menghakimi dan menghukumi atas sikap seseorang sebagai bentuk lemahnya intelektualitas dan spiritualitas seseorang. Bukan dengan cara itu, seyogyanya pendekatan humanistik harus digunakan dalam membaca dan menangani Trio Berbie.

Berita Terkait:  Peran Strategis Organisasi Profesi Dalam Transformasi Sistim Kesehatan Indonesia

Memberikan penjelasan dan bimbingan akan lebih humanistik dari pada membully mereka. Agama dan budaya kita tidak menghendaki praktik-praktik yang tidak manusiawi.

Pendekatan humanistik merupakan perwujudan dari konsep “gala’a atau “motolongala’a” dalam masyarakat Gorontalo. Sebagai system nilai, harusnya ini menjadi referensi dalam menyelesaikan masalah, bukan dengan cara-cara yang justru menjauhkan Trio Berbie dari “gala’a. semoga.

Berita Terkait:  Relasi Politik Birokrasi dan Demokrasi



hari kesaktian pancasila