Kota Gorontalo

Wali Kota Gorontalo Larang Caleg Kampanye di Tempat Ibadah

×

Wali Kota Gorontalo Larang Caleg Kampanye di Tempat Ibadah

Sebarkan artikel ini
Kampanye Tempat Ibadah
Wali Kota Gorontalo, Marten Taha ketika memberikan arahan pada penyuluhan imam masjid se-Kota Gorontalo, Senin (12/11/2023).

Hargo.co.id, GORONTALO – Calon anggota legisliatif (Caleg) dilarang untuk melakukan kampanye di tempat ibadah. Larangan ini sebagaimana ditegaskan Wali Kota Gorontalo, Marten Taha, saat memberikan arahan pada penyuluhan imam masjid se-Kota Gorontalo, Senin (11/12/2023).

Berita Terkait:  Tampil dengan Tema Warna Adat Gorontalo, Arzetta Ramadhani Gobel Pukau Pengunjung IFW 2024

“Silahkan berkampanye, tapi jangan di tempat ibadah. Karena tempat ibadah merupakan salah satu tempat yang dilarang untuk digunakan berkampanye,” tegas Marten.

hari keluarga nasional

Menurutnya, larangan tempat ibadah dijadikan sebagai tempat kampanye sesuai dengan

ketentuan yang tertuang dalam undang-undang pemilihan umum (Pemilu) pasal 280 ayat 1 huruf H.

Berita Terkait:  BSG Melunak atas Hasil RUPS, Adhan Sukses Kembalikan Harga Diri Gorontalo

“Dalam konteks ini, penting untuk menghormati sensivitas dan nilai-nilai budaya, agama dan kebebasan beragama dalam konteks kampanye Pemilu. Meskipun kampanye politik adalah bagian penting dari proses demokrasi, namun harus diatur batasan-batasan sedemikian rupa, agar tidak merusak keharmonisan dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat,” jelas Marten.

Marten mengemukakan, tempat ibadah memiliki makna dan nilai spiritual yang tinggi bagi setiap umat beragama. Menggunakan tempat ibadah sebagai tempat kampanye berpotensi memicu emosi dan kontroversi, serta merusak nilai-nilai agama.

Berita Terkait:  Marten Taha Harap Warga Dukung Pelaksanaan Operasi Ketupat Otanaha 2024

Terlebih lagi, lanjut Marten, apabila diletakkan pada situasi dan kondisi masyarakat yang semakin mudah terprovokasi dan cepat bereaksi pada isu-isu yang berkaitan dengan politik identitas, etnis dan agama, tanpa merujuk dan menilai fakta yang objektif berpotensi memperdalam polarisasi politik di tengah banyaknya narasi dan opini yang berbeda terhadap fakta yang sama, yang dapat bermuara pada melemahnya kohesi sosial.

“Dalam hal ini, pembatasan penggunaan tempat ibadah untuk berkampanye tidaklah berarti adanya pemisahan antara agama dengan institusi negara. Namun, lebih kepada proses pembedaan fungsi antara institusi keagamaan dengan masyarakat. Terutama untuk masalah yang memiliki nilai politik praktis yang sangat tinggi,” tutup Marten.(*) 

Berita Terkait:  Marten Taha: Reformasi Birokrasi Bisa Wujudkan Good Governance

Penulis: Rendi Wardani Fathan