Oleh:
Dr.dr.Muhammad Isman Jusuf, Sp.N
Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Gorontalo/
Anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Neurologi Seluruh Indonesia
Pendahuluan
Saat ini di Provinsi Gorotalo lagi marak fenomena bunuh diri. Sejak Januari 2023 hingga saat ini sudah ada 22 kasus bunuh diri yang terjadi di Gorontalo. Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia didapatkan bahwa sejak Januari hingga Juli 2023 telah terjadi sebanyak 663 kasus bunuh diri. Jumlah ini meningkat 36,4% dibandingkan periode serupa pada tahun sebelumnya yang sebanyak 486 kasus. Kejadian bunuh diri ini terjadi di 28 provinsi sepanjang tahun 2023. Kejadian tersebut paling banyak terjadi di Jawa Tengah, yakni 253 kasus.
Data di atas sejalan dengan data yang dirilis oleh Emotional Health for All Foundation (EHFA) yang memperlihatkan angka kejadian bunuh diri di Indonesia 4 kali lipat dari data yang dilaporkan, atau diperkirakan lebih dari 300 persen. Ini merupakan presentase tertinggi dari jumlah kejadian yang dilaporkan secara nasional di dunia. Sebenarnya banyak data yang tidak dilaporkan karena perbedaan standar dan sistem pencatatan bunuh diri di rumah sakit serta masih banyak keluarga yang menyembunyikan kejadian bunuh diri karena takut stigma masyarakat.
Angka kejadian bunuh diri tertinggi terjadi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, Maluku Utara dan Kepulauan Riau. Sementara tingkat upaya bunuh diri tertinggi dari Sulawesi Barat, Gorontalo, Bengkulu, Sulawesi Utara dan Kepulauan Riau.
Secara global, setiap tahunnya lebih dari 800 ribu orang meninggal akibat bunuh diri atau satu kematian setiap 40 detik. Di negara maju tingkat percobaan bunuh dirinya lebih tinggi yaitu 12,7 per 100 ribu penduduk. Di negara berpenghasilan menengah-bawah adalah 11,2 persen 100 ribu penduduk.. Bunuh diri menjadi penyebab kematian kedua pada usia muda (15 sampai 29 tahun). Pada beberapa negara, angka bunuh diri orang tua menurun tapi pada usia muda justru meningkat.
Penyebab Bunuh Diri
Bunuh diri merupakan tindakan merusak diri sendiri yang berakibat pada kematian. Bunuh diri juga didefinisikan sebagai seseorang yang berniat dengan sengaja membunuh dirinya sendiri atau melakukan tindakan mengambil nyawanya sendiri. Empat metode yang paling sering digunakan di Indonesia untuk bunuh diri diantaranya:gantung diri, meracuni diri sendiri, melompat dari ketinggian dan benda tajam.
Bunuh diri terjadi adanya interaksi biologi, psikologi, sosial dan budaya. Sebanyak 90 persen orang yang melakukan bunuh diri adalah orang dengan gangguan jiwa, misalnya skizofrenia, gangguan depresi mayor, bipolar, ansietas, penyalahgunaan zat serta penyakit neurologi misalnya epilepsi, dan gangguan kepribadian. Penelitian yang dilakukan oleh Profesor van Heeringen dari Universitas Ghent (Belgia) dan Profesor Mann dari Universitas Columbia (AS) menunjukkan bahwa perilaku bunuh diri tidak berhubungan dengan tekanan hidup dan patah hati. Orang yang berisiko tinggi memiliki perilaku bunuh diri justru berhubungan dengan gen dan lingkungan yang membentuknya.
Riset yang dipimpin oleh Dr Martin Kohli dari the John P Hussman Institute for Human Genomics di Miami, Amerik, melakukan penelitian terhadap 394 partisipan yang depresi, 113 diantaranya sudah melakukan bunuh diri. DNA mereka kemudian dibandingkan dengan 366 orang dalam keadaan sehat.
Hasilnya menunjukkan ada kecenderungan riwayat bunuh diri pada satu garis keturunan.
Terdapat lima perubahan kode genetik yang sama pada individu dengan riwayat keluarga yang pernah mencoba bunuh diri dan sudah melakukan bunuh diri. Bagian yang mempengaruhi keinginan bunuh diri disebut dengan varian gen Nucleotide Polymorphisms (SNPs).
Varian tersebut akan mempengaruhi dua gen yang berhubungan dengan formasi sel-sel saraf dan pertumbuhannya dalam otak. Gen itu juga yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk mengakhiri hidupnya. Seseorang yang memiliki gen tersebut dalam tubuhnya memiliki risiko 4,5 kali lebih besar mengalami percobaan bunuh diri dibanding seseorang yang tidak membawa gen tersebut dalam tubuhnya. Para peneliti dari Universitas Duke, yang dipimpin oleh profesor rekanan Dr. Nathan Kimbrel dan Allison Ashley-Koch, mengidentifikasi empat gen yang terkait dengan orang-orang yang berkeinginan bunuh diri, yaitu: ESR1, DRD2, DCC dan TRAF3.
Riset yang dilakukan oleh Zachary Kaminsky dari Johns Hopskins Medicine, mengungkapkan bahwa mutasi genetik bisa memprediksi risiko bunuh diri dengan akurasi 80 persen.
Penelitian ini juga menemukan bahwa orang yang bunuh diri memiliki perubahan gen SKA2 dalam otaknya.
Jaringan otak dari berbagai kelompok yang meninggal karena bunuh diri diperiksa dan didapatkan bahwa pada otak orang-orang yang bunuh diri, kadar SKA2 di otaknya lebih rendah. Ketika gen SKA2 tidak berfungsi dengan baik, tubuh tidak mampu menekan pelepasan hormon stres kortisol ke seluruh otak.
Penelitian tentang keinginan bunuh diri pada seseorang pernah dilakukan oleh dr Anne Laura Van Harmelen dari Universitas Cambridge. Dalam penelitian tersebut, diamati perubahan struktur dan fungsi otak dari 12.000 orang responden. Peneliti kemudian menemukan bahwa manusia memiliki dua jaringan otak yang bisa meningkatkan keinginan untuk bunuh diri yaitu prefrontal cortex ventral dan lateral serta korteks prefrontal dorsal dan sistem gyrus frontal inferior. Jaringan pada prefrontal cortex ventral dan lateral menghubungkan area otak frontal atau bagian depan serta bertugas dalam mengatur emosi. Apabila terjadi perubahan pada jaringan tersebut akan tercipta pikiran negatif yang berlebihan. Jaringan pada korteks prefrontal dorsal dan sistem gyrus frontal inferior berperan dalam proses pengambilan keputusan serta mengendalikan perilaku seseorang. Perubahan negatif yang terjadi pada bagian ini, bisa meningkatkan atau memicu keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri.
Pencegahan Bunuh Diri
Para Ilmuwan dari Universitas Carnegie Mellon, Pennsylvania, Amerika Serikat, telah mengembangkan suatu program komputer yang dapat mengidentifikasi pikiran orang yang berniat bunuh diri berdasarkan pemindaian otak mereka.
Tes ini memiliki tingkat akurasi 91 persen bagi seseorang yang berniat bunuh diri, dan meramalkan seseorang yang telah mencoba bunuh diri sebelumnya dengan tingkat akurasi mencapai 94 persen.
Memang keakuratan hasilnya cukup tinggi namun agar program ini akan bermanfaat bagi para dokter dalam membenarkan semua jenis intervensi medis, maka tentu perlu disempurnakan. Kedepannya algoritma ini dapat digunakan untuk mendeteksi orang yang berniat bunuh diri termasuk dapat memeriksa orang yang memiliki gangguan mental lainnya.
Publik juga memiliki andil dalam upaya mencegah bunuh diri dengan mengenali faktor risiko, tanda-tanda, faktor risiko, dan orang yang berpotensi melakukan bunuh diri.
Faktor risiko bunuh diri meliputi banyak hal seperti menanggur, bercerai, bulliying, banyak konflik, terisolasi secara sosial, mengalami pelecehan seksual, memiliki riwayat mutilasi, serta mempunyai riwayat orang tua depresi. Sementara tanda-tanda orang yang akan melakukan bunuh diri bisanya sering menangis, merasa sedih, gelisah, mudah tersinggung, dan sering bingung.
Pencegahan bunuh diri terbagi atas tiga yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tertier. Pencegahan primer dilakukan untuk mencegah seseorang melakukan bunuh diri sebelum timbul niat bunuh diri dengan memperhatikan faktor risiko yang dimiliki.
Upaya yanga termasuk pencegahan primer diantaranya:
(1) Membuat buku pedoman, buku saku, leaflet, poster, lembar edukasi tentang pengenalan faktor risiko, pengelolaan faktor risiko, pencegahan dan pengelolaan dampak psikologis dan sosial bunuh diri.
(2) Sosialisasi informasi tentang bunuh diri melalui media edukasi, media massa dan terintegrasi dengan aktivitas sosial budaya.
(3) Mengoptimalkan sistem informasi yang sudah ada di masing masing instansi baik instansi kesehatan maupun non kesehatan dengan memasukkan materi tentang pencegahan bunuh diri.
(4) Pemerintah membuat edaran tentang himbauan kepada pemangku kepentingan, tokoh masyarakat untuk menyampaikan materi tentang pengenalan faktor risiko bunuh diri dalam forum formal maupun non formal.
Pencegahan sekunder dilakukan melalui deteksi dini dan terapi yang tepat pada orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri.
Upaya pencegahan sekunder yang dapat dilakukan diantaranya:
(1) Optimalisasi pelaksanaan rujukan medis.
(2) Membentuk sistem rujukan psikososial terintegrasi.
(3) Pelatihan kader, tokoh masyarakat, pemangku kebijakan dan petugas kesehatan untuk dapat melakukan/meningkatkan kemampuan deteksi dini dan pengelolaan.
(4) Melakukan upaya pengembangan akses ke layanan kesehatan mental
Adapun pencegahan tersier dilakukan untuk mencegah berulangnya proses bunuh diri.
Upaya yang termasuk pencegahan tersier diantaranya:
(1) Mengembangkan sistem komunikasi informasi dan edukasi tentang faktor risiko bunuh diri dan deteksi dini.
(2) Membentuk gugus tugas pencegahan bunuh diri dari tingkat kabupaten sampai desa/kalurahan
(3) Mengembangkan rehabilitasi psikososial berbasi masyarakat.
(4) Penguatan ketahanan keluarga (5) Menyediakan akses ke layanan medis, psikologi, ekonomi, sosial dan agama
Salah satu hal yang harus diperhatikan dari kasus bunuh diri adalah terjadinya copycut suicide
yaitu tindakan bunuh diri yang dilatarbelakangi ingin meniru kasus bunuh diri sebelumnya. Pemberitaan bunuh diri di media berpotensi menyebabkan individu melakukan copycat suicide, fenomena ini disebut juga dengan Werther Effect.
Di era digital, internet telah menjadi sumber utama informasi yang memberikan penggambaran tidak pantas mengenai bunuh diri dan masalah kesehatan mental. Peran media menjadi penting dan strategis. Berita tentang fenomena bunuh diri jika disampaikan tidak baik justru akan memicu terjadinya copycut suicide. Media massa dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kesehatan mental seseorang sehingga dapat menekan insidensi bunuh diri. Walaupun pemberitaan bunuh diri tidak selalu memiliki efek langsung, namun dapat mempengaruhi pemikiran dan perilaku individu di masa depan.
Diharapkan media massa tidak hanya berperan sebagai penyebar informasi namun
menjadi sarana untuk menghapuskan stigma dan diskriminasi terhadap penyintas bunuh diri.
Penutup
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa angka insidensi kasus bunuh diri di Indonesia khususnya di Gorontalo cenderung meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk gangguan pada sistim saraf.
Olehnya dalam penatalaksanaan bunuh diri perlu dilakukan secara multidisiplin dan lintas sektor,
tidak hanya kalangan medis tetapi juga melibatkan psikolog, sosiolog, budayawan dan agamawan termasuk media masa. Diharapkan melalui pencegahan primer, sekunder dan tertier, dapat menurunkan kasus bunuh diri di Bumi Serambi Madinah.